Hadits
pada masa Nabi Muhammad saw dan pada masa Sahabat
a.
Masa Nabi Muhammad SAW
Periode ini disebut “Ashr Al wahyi wa al Taqwin” ( masa
turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam).
Ada
beberapa cara Rasulullah menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:
·
Melalui para jama’ah pada pusat
pembinaan yang disebut majlis al- ilmi.
·
Melalui sahabat tertentu yang kemudian
disampaikan kepada orang lain.
·
Melalui pidato di tempat terbuka,
seperti ketika ketika haji wada’ dan futuh Makkah.
Hadits pada zaman nabi Muhammad saw
belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan :
1. para sahabat mengandalkan kekuatan
hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kurang.
2. karena adanya larangan menulis hadits
nabi
3. Dikhawatirkan
hadits akan tercampur dengan al Qur’an secara tidak sengaja.
Larangan menulis hadits itu terjadi
pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits tidak tercampur dengan
al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah
banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan
dengan perintah yang membolehkannya.
o
larangan
menulis hadits itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus
bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis, hingga terjaga dari kekeliruan
dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr
bin Ash yang telah diperbolehkan Rasulullah untuk menulis
apa saja yang datang dari Rasul.
o
larangan
menulis hadits ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis,
sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat
hafalannya
Jadi, Hadits belum ditulis secara
resmi pada masa Rasulullah SAW karena terdapat berbagai keterangan dan
argumentasi yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Diantaranya
ditemukannya hadits yang sebagiannya membenarkan dan mendorong penulisan Hadits,
dan ada hadits lain yang melarang penulisan Hadits ini.
b. Masa Khulafa’ Rasyidin
Periode ini
disebut zaman at Tatsabut wa al Iqlal min
al Riwayat ( masa pengokohan dan penyederhanaan riwayat).
Pada masa ini para sahabat sangat
berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadits karena menurut mereka hadits
merupakan sumber ajaran islam yang harus terjaga dari kekeliruan sebagaimana
al-Qur’an. Diharuskan menghadirkan saksi untuk meriwayatkan suatu hadis.
Cara para sahabat meriwayatkan hadits:
Cara para sahabat meriwayatkan hadits:
o
Periwayatan
lafdzi, yaitu periwayatan hadits yang lafadznya persis seperti yang disabdakan
nabi.
o
Periawayatan
maknawi, yaitu para sahabat meriwayatkan maknanya saja karena tidak hafal lafaz
asli dari Nabi.
c. Masa Sahabat dan Tabi’in
Periode ini
disebut “Ashr al Intisyar al Riwayah ila
al Amshar” (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).
Sesudah masa Usman dan Ali,
timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadis serta
menyebarluaskannya kepada masyarakat luas. Pada masa ini wilayah islam sudah
semakin meluas ke negeri Syam, Iraq, Mesir, Samarkant, hingga Spanyol. Hal ini
bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut dalam
rangka memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadits.
Pada
masa ini masih belum ada hadits yang terkodifikasi, karena mereka mengangggap
bahwa nabi masih tidak secara jelas menyuruh untuk menulis hadis.
Jadi para sahabat maupun tabi’in
sama-sama mengandalkan hafalan, tetapi masih ada yang menulis hadis tapi itu
cuma sebagai perantara saja, yaitu untuk menunjang hafalan tapi setelah itu
disuruh membakarnya.
Sejarah kodifikasi hadits
Pada abad
pertama hijriah yaitu pada zaman Rasulullah Saw, Khulafa’ Rasyidin, sebagian
besar dinasti Amawiyah hingga akhir abad pertama Hijriah, hadits-hadits
berpindah dari mulut ke mulut dan para perawi meriwayatkan berdasarkan kekuatan
hafalannya.
Ketika kekhalifahan dipegang oleh
Umar ibn Abdul Aziz (99H), mulailah dilakukan usaha tadwin hadis. Alasan
mengapa Umar ibn Abdul Aziz memutuskan hal itu adalah beliau khawatir terhadap hilangnya
hadits-hadits dengan gugurnya para ulama hadits di medan perang dan khawatir
akan tercampurnya hadits-hadits shahih dengan hadits palsu. Di pihak lain bahwa
dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam dan berbedanya kemampuan para
tabi’in satu sama lain, maka sangat jelas diperlukan adanya usaha kodifikasi
ini.
Untuk mewujudkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta gubernur madinah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr Ibn Hazmin supaya membukukan hadits rasul kepada penghafal wanita terkenal Amrah binti Abd ar Rahman ibn Sa’ad ibn Zuharah ibn Ades dan hadits-hadits yang ada pada al Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakr ash Shiddiq, seorang fuqaha tujuh madinah. Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur-gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadits yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing.
Untuk mewujudkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta gubernur madinah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr Ibn Hazmin supaya membukukan hadits rasul kepada penghafal wanita terkenal Amrah binti Abd ar Rahman ibn Sa’ad ibn Zuharah ibn Ades dan hadits-hadits yang ada pada al Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakr ash Shiddiq, seorang fuqaha tujuh madinah. Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur-gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadits yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing.
Para ahli hadis
pada abad II H tidak memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in,
namun pada abad ketiga para ahli hadits memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu.
Mereka hanya membukukan hadits-hadits saja. Pada mulanya ulama hanya
mengumpulkan hadits yang terdapat di kota mereka masing-masing, hanya sebagaian
kecil saja yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Keadaan ini
dirubah oleh Bukhari dimana beliau selama 16 tahun menjelajah untuk menyiapkan
kitab shahihnya. Pada mulanya para ulama menerima menuliskan hadits dari para
perawi dengan tidak menetapkan syarat dan tidak memperhatikan shahih tidaknya.
Namun setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang
zindiq untuk mengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut:
1) Membahas keadaaan rawi-rawi dari
berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
2) Memisahkan hadits-hadits yang shahih
dari hadis yang dhaif, yakni dengan mentashhihkan hadits. Dasar-dasar
pentashhihannya adalah:
·
Pengetahuan
yang luas tentang tarikh rijal al hadis (sejarah perawi hadis).
·
Perbandingan
antara hadis di suatu kota dan di kota lainnya dan juga pengetahuan yang luas
tentang mazhab yang dianut oleh perawi-perawi itu, apakah dia seorang khawarij,
Mu’tazilah, syi’ah atau yang lainnya.
al-Kutub as-Sittah dan al-Kutub
at-Tis'ah
al-Kutub as-Sittah atau kitab induk enam merupakan kitab hadits
yang dihimpun oleh 6 orang ulama. Yang masuk dalam al kutub as-sittah antara
lain : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tarmidzi, Sunan
Nasa’I dan Sunan Ibn majah.
al-Kutub al-Tis'ah atau sembilan
Kitab Induk Hadis merupakan rujukan
utama dalam studi dan pengenalan terhadap Hadis - Hadis Nabi SAW, terutama
dengan menggunakan al-Mu'jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadis Al-Nabawi ( Kitab
Indeks Hadis) sebagai medianya.
Kesembilan Kitab Induk Hadis tersebut adalah :
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abi Dawud, Sunan al-Turmudzi, Sunan Al-Nasa'I, Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad Ibn
Hanbal, Muwatta' Imam Malik, Sunan al-Darimi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar