Sabtu, 20 September 2014

Sejarah Hadits

Hadits pada masa Nabi Muhammad saw dan pada masa Sahabat

a.       Masa Nabi Muhammad SAW
Periode ini disebut “Ashr Al wahyi wa al Taqwin” ( masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam).
Ada beberapa cara Rasulullah menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:
·         Melalui para jama’ah pada pusat pembinaan yang disebut majlis al- ilmi.
·         Melalui sahabat tertentu yang kemudian disampaikan kepada orang lain.
·         Melalui pidato di tempat terbuka, seperti ketika ketika haji wada’ dan futuh Makkah.

Hadits pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan :
1.      para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kurang.
2.      karena adanya larangan menulis hadits nabi
3.      Dikhawatirkan hadits akan tercampur dengan al Qur’an secara tidak sengaja.

Larangan menulis hadits itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
o   larangan menulis hadits itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash yang telah diperbolehkan Rasulullah untuk menulis apa saja yang datang dari Rasul.
o   larangan menulis hadits ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya

Jadi, Hadits belum ditulis secara resmi pada masa Rasulullah SAW karena terdapat berbagai keterangan dan argumentasi yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Diantaranya ditemukannya hadits yang sebagiannya membenarkan dan mendorong penulisan Hadits, dan ada hadits lain yang melarang penulisan Hadits ini.

b.      Masa Khulafa’ Rasyidin
Periode ini disebut zaman at Tatsabut wa al Iqlal min al Riwayat ( masa pengokohan dan penyederhanaan riwayat).
Pada masa ini para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadits karena menurut mereka hadits merupakan sumber ajaran islam yang harus terjaga dari kekeliruan sebagaimana al-Qur’an. Diharuskan menghadirkan saksi untuk meriwayatkan suatu hadis.
Cara para sahabat meriwayatkan hadits:
o   Periwayatan lafdzi, yaitu periwayatan hadits yang lafadznya persis seperti yang disabdakan nabi.
o   Periawayatan maknawi, yaitu para sahabat meriwayatkan maknanya saja karena tidak hafal lafaz asli dari Nabi.

c.       Masa Sahabat dan Tabi’in
Periode ini disebut “Ashr al Intisyar al Riwayah ila al Amshar” (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).
Sesudah masa Usman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadis serta menyebarluaskannya kepada masyarakat luas. Pada masa ini wilayah islam sudah semakin meluas ke negeri Syam, Iraq, Mesir, Samarkant, hingga Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut dalam rangka memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadits.
Pada masa ini masih belum ada hadits yang terkodifikasi, karena mereka mengangggap bahwa nabi masih tidak secara jelas menyuruh untuk menulis hadis.
Jadi para sahabat maupun tabi’in sama-sama mengandalkan hafalan, tetapi masih ada yang menulis hadis tapi itu cuma sebagai perantara saja, yaitu untuk menunjang hafalan tapi setelah itu disuruh membakarnya.



 Sejarah kodifikasi hadits

Pada abad pertama hijriah yaitu pada zaman Rasulullah Saw, Khulafa’ Rasyidin, sebagian besar dinasti Amawiyah hingga akhir abad pertama Hijriah, hadits-hadits berpindah dari mulut ke mulut dan para perawi meriwayatkan berdasarkan kekuatan hafalannya.
Ketika kekhalifahan dipegang oleh Umar ibn Abdul Aziz (99H), mulailah dilakukan usaha tadwin hadis. Alasan mengapa Umar ibn Abdul Aziz memutuskan hal itu adalah beliau khawatir terhadap hilangnya hadits-hadits dengan gugurnya para ulama hadits di medan perang dan khawatir akan tercampurnya hadits-hadits shahih dengan hadits palsu. Di pihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam dan berbedanya kemampuan para tabi’in satu sama lain, maka sangat jelas diperlukan adanya usaha kodifikasi ini.
Untuk mewujudkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta gubernur madinah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr Ibn Hazmin supaya membukukan hadits rasul kepada penghafal wanita terkenal Amrah binti Abd ar Rahman ibn Sa’ad ibn Zuharah ibn Ades dan hadits-hadits yang ada pada al Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakr ash Shiddiq, seorang fuqaha tujuh madinah. Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur-gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadits yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing.
Para ahli hadis pada abad II H tidak memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, namun pada abad ketiga para ahli hadits memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu. Mereka hanya membukukan hadits-hadits saja. Pada mulanya ulama hanya mengumpulkan hadits yang terdapat di kota mereka masing-masing, hanya sebagaian kecil saja yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Keadaan ini dirubah oleh Bukhari dimana beliau selama 16 tahun menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihnya. Pada mulanya para ulama menerima menuliskan hadits dari para perawi dengan tidak menetapkan syarat dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Namun setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut:
1)      Membahas keadaaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
2)      Memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadis yang dhaif, yakni dengan mentashhihkan hadits. Dasar-dasar pentashhihannya adalah:
·         Pengetahuan yang luas tentang tarikh rijal al hadis (sejarah perawi hadis).
·         Perbandingan antara hadis di suatu kota dan di kota lainnya dan juga pengetahuan yang luas tentang mazhab yang dianut oleh perawi-perawi itu, apakah dia seorang khawarij, Mu’tazilah, syi’ah atau yang lainnya.


 al-Kutub as-Sittah dan al-Kutub at-Tis'ah

al-Kutub as-Sittah atau kitab induk enam merupakan kitab hadits yang dihimpun oleh 6 orang ulama. Yang masuk dalam al kutub as-sittah antara lain : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tarmidzi, Sunan Nasa’I dan Sunan Ibn majah.
al-Kutub al-Tis'ah atau sembilan Kitab Induk Hadis  merupakan rujukan utama dalam studi dan pengenalan terhadap Hadis - Hadis Nabi SAW, terutama dengan menggunakan al-Mu'jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadis Al-Nabawi ( Kitab Indeks Hadis) sebagai medianya.

Kesembilan Kitab Induk Hadis tersebut adalah : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Turmudzi, Sunan Al-Nasa'I, Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Muwatta' Imam Malik, Sunan al-Darimi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar