Tampilkan postingan dengan label tasawuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tasawuf. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Oktober 2014

Ikhlas

1.      Pengertian
a.       Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
b.      Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak. Keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
                     Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162).
2.      Ciri Orang Yang Ikhlas diantaranya:
a.         Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri
b.        Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan
c.         Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian.
Pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu keadaan kita yang sebenarnya. Pujian adalah ujian Allah, hampir tidak pernah ada pujian yang sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya.
d.      Tidak silau dan cinta jabatan
e.       Tidak diperbudak imbalan dan balas budi
f.       Tidak mudah kecewa.
Seorang hamba yang ikhlas sadar bahwa manusia hanya memiliki kewajiban menyempurnakan niat dan menyempurnakan ikhtiar. Perkara yang terbaik terjadi itu adalah urusan Allah.
Masalah kekecewaan yang wajar adalah jika berhubungan dengan urusan dengan Allah, kecewa ketika ternyata sholatnya tidak khusyu‘, ibadahnya tidak meningkat dsb.nya.
g.      Tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil
h.      Tidak fanatis golongan
i.        Ridha dan marahnya bukan karena perasaan pribadi
j.        Ringan, lahap dan nikmat dalam beramal
k.      Tidak egois karena selalu mementingkan kepentingan bersama.
l.        Tidak membeda-bedakan pergaulan.

Wara'

1.      Pengertian
                        Wira' bisa diartikan bersikap dan berlaku hati-hati terhadap hal-hal yang makruh dan hal-hal yang syubhat. Hal-hal yang makruh adalah sesuatu yang jika ditinggalkan oleh seseorang maka ia akan mendapat pahala dan jika dilakukan maka tidak ada dosa atau pun pahala baginya. Jadi, hal-hal yang makruh adalah sesuatu yang lebih baik untuk ditinggalkan dari pada dilakukan. Sedangkan, hal-hal yang syubhat adalah segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, sesuatu yang belum jelas antara halal dan haramnya, baik yang berupa makanan, pakaian, tempat, dan lain sebagainya.
                        Lihatlah bagaimana sikap Imam Nawawi rahimahullah dalam menyikapi apabila ada keragu-raguan dalam masalah suatu hukum, halal ataukah haram. Beliau berkata,
فَإِذَا تَرَدَّدَ الشَّيْء بَيْن الْحِلّ وَالْحُرْمَة ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ نَصّ وَلَا إِجْمَاع ، اِجْتَهَدَ فِيهِ الْمُجْتَهِد ، فَأَلْحَقهُ بِأَحَدِهِمَا بِالدَّلِيلِ الشَّرْعِيّ فَإِذَا أَلْحَقَهُ بِهِ صَارَ حَلَالًا ، وَقَدْ يَكُون غَيْر خَال عَنْ الِاحْتِمَال الْبَيِّن ، فَيَكُون الْوَرَع تَرْكه ، وَيَكُون دَاخِلًا فِي قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( فَمَنْ اِتَّقَى الشُّبُهَات فَقَدْ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضه )
                        “Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma’ (konsensus  ulama); lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal, namun ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut. Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barangsiapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (Syarh Muslim, 11: 28).

2. Keutamaan Sikap Wara’
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi Muhammad dalam sabdanya,
فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع                                          
Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’” (HR. Ath Thobroni dalam Al Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 68 mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi).
وقد جمع النبي الورع كله في كلمة واحدة فقال : من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه فهذا يعم الترك لما لا يعني : من الكلام والنظر والاستماع والبطش والمشي والفكر وسائر الحركات الظاهرة والباطنة فهذه الكلمة كافية شافية في الورع
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun makna wara’ dalam satu kalimat yaitu dalam sabda beliau, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang yaitu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” Hadits ini dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat yaitu mencakup perkataan, pandangan, mendengar, bertindak anarkis, berjalan, berpikir, dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sudah mencukupi untuk memahami arti wara’.” (Madarijus Salikin, 2: 21).

Zuhud

1.      Pengertian
a)        secara umum dapat diartikan bahwa zuhd merupakan suatu sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat
b)        zuhd bukan berarti mengosongkan tangan dari harta, melainkan mengosongkan hati dari ketergantungan pada harta. Karena keduniawian dapat memalingkan hati manusia dari Allah SWT.
c)      Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia.
d)     Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf  diantaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.”
2.      Empat kunci zuhud menurut Imam Hasan Al Bashri
           Pertama, selalu yakin bahwa rizki kita tak mungkin diambil orang lain sehingga hati kita selalu merasa tenang. Keyakinan seperti ini setidaknya akan melahirkan sikap Tawakal dan tidak Tamak terhadap harta.
           Kedua, selalu yakin bahwa amal kita tak mungkin dikerjakan oleh orang lain. Keyakinan ini akan selalu menyibukkan diri kita untuk terus beramal.
           Ketiga, selalu yakin bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi kita. Keyakinan ini akan menjadikan kita selalu hati-hati dan waspada dari segala perbuatan dosa, bahkan kita malu untuk berbuat dosa sekecil apapun.
           Keempat, selalu yakin bahwa kematian adalah suatu kepastian. Keyakinan ini akan mendorong kita untuk sibuk mempersiapkan bekal kehidupan di hari Akhir.
     Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh para para sahabat antara lain Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya, tetapi tidak mengambil semua harta kekayaannya untuk diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar harta mereka habis untuk dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman. Mereka adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun tidak tertipu oleh dunia. Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya
3.      Tingkatan Zuhud
           Imam Ahmad mengatakan, ”Zuhud ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan sesuatu yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awam. Kedua, meninggalkan berlebihan terhadap yang halal, ini adalah zuhudnya golong yang khusus. Ketiga, meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkannya dari mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”
           Hal yang berkaitan dengan zuhud ada 6 perkara. Seseorang tidak berhak menyandang sebutan zuhud sehingga bersikap zuhud terhadap 6 perkara tersebut, yaitu; harta, rupa (wajah), kedudukan (kekuasaan), manusia, nafsu, dan segala sesuatu selain Allah. Namun demikian, ini bukan berarti menolak kepemilikan terhadapnya.

4.      Kesalahpahaman terhadap Zuhud
           Banyak orang yang salah paham terhadap zuhud. Banyak yang mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain.  Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.

Taubat

Sebagai hamba yang ta’at, kita harus harus memiliki sikap yang benar tatkala terjatuh ke dalam dosa dan maksiat karena tidak ada manusia yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan/ dosa terkecuali rasulullah. Seperti yang pernah disabdakan oleh beliau  yang artinya, “Setiap anak cucu Adam pasti pernah berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah ialah orang yang banyak bertaubat.” (H.R. At-Tirmidzi, hasan). Oleh karena itu, hendaknya kita segera memohon ampun kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Berlomba-lombalah kamu kepada ampunan Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al Hadid: 21)

1.      Pengertian
           Secara Bahasa taubat berasal bahasa Arab taaba – yatuubu – taubatan yang berarti kembali. Maksudnya, kembali dari segala yang tercela menurut agama Islam , menuju semua hal yang terpuji.
           Taubat apabila dibahasakan secara ringkas adalah meninggalkan atau menyesali dosa dan berjanji tidak mengulanginya lagi (penyesalan atas semua perbuatan tercela yang pernah dilakukan).
           Taubat ialah kembali taat kepada Allah s.w.t dan menyesal dengan bersungguh-sungguh terhadap dosa yang telah dilakukan baik dosa besar maupun dosa kecil serta memohon keampunan dari Allah. Setiap individu diperintahkan bertaubat untuk menyucikan diri dari dosa besar dan kecil, baik dilakukan dengan sengaja mahupun tidak.
2.      Syarat diterimanya taubat:
a)   Menyesal terhadap perbuatan maksiat yang telah diperbuat.
b)   Meninggalkan perbuatan maksiat itu.
c)   Bertekad dan berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan maksiat itu.
d)   Mengikutinya dengan perbuatan baik. Karena perbuatan baik akan menghapus keburukan. (lihat Q.S. Hud, 11 : 114)
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”
      Namun, apabila dosanya  dilakukan terhadap sesama manusia, maka harus ditambah dengan dua syarat, yaitu:
a)    Meminta maaf terhadap orang yang dizalimi (dianiaya) atau dirugikan.
b)    Mengganti kerugian setimbang dengan kerugian yang dialaminya, yang diakibatkan    perbuatan dholim atau meminta kerelaannya.
3.      Tujuan dan Keutamaan Taubat
a)         Meraih kecintaan Allah ‘azza wa jalla dan disucikan dirinya dari segala dosa-dosa, yang kemudian akan ia peroleh surga dan selamat dari siksa.
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS. Al Baqarah: 222)”
“……kecuali orang-orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam surga dan mereka tidaklah dianiaya barang sedikit pun.” (QS. Maryam: 59 – 60)”
b)        Turunnya ampunan atas kesalahan-kesalahannya.
“Dialah Allah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan Maha mengampuni berbagai kesalahan.” (QS. Asy Syuura: 25)
c)    Dengan taubat seseorang akan dilapangkan rezki dan dimudahkan segala urusannya oleh Allah. Dengan demikian orang yang bertaubat akan ia peroleh keberuntungan Allah Swt.
       “Dan bertaubatlah kepada Allah wahai semua orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31).
4.    Tidak diterimanya taubat
                 Apabila seseorang hamba bertaubat kepada Allah S.W.T. dengan bersungguh sungguh dan beserta dengan hati yang ikhlas, sudah pasti Allah akan menerima taubat hamba-Nya. Tetapi terdapat beberapa keadaan dan masa tertentu yang mana pada ketika itu, taubat seseorang hamba tidak akan diterima oleh Allah S.W.T.
                 Ingatlah akan pesanan Allah S.W.T. dalam Al-Quran agar kita segera bertaubat sebelum tiba masa dan keadaan di mana taubat tidak lagi diterima. Seperti firman Allah dalam Surah Az-Zumar ayat 54 yang artinya:
            “Dan kembalilah kamu kepada Tuhan kamu dengan bertaubat, serta berserah bulat-bulat kepada-Nya, sebelum kamu didatangi azab; kerana sesudah itu kamu tidak akan diberikan pertolongan.”
            a)  Nazak
                 Kebanyakan manusia yang akan mengingat Allah S.W.T. apabila datangnya sakit. Pada saat dan ketika inilah mereka akan ingat terhadap Allah S.W.T. Pada saat inilah mereka akan bertaubat, akan meninggalkan segala perbuatan dosa yang telah dilakukan dan apabila mereka sehat semula, mereka lupa akan janji mereka semasa sakit.
                 Ingatlah Allah S.W.T. tidak akan menerima taubat hamba-Nya apabila roh sudah sampai ke kerongkong atau dalam keadaan nazak. Rasulullah S.A.W. bersabda:
        
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama ruhnya belum sampai ke kerongkongan.” (HR. At-Tirmizi no. 1531, Ibnu Majah no. 3407, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1309)
b) Terancam Nyawanya
Manusia yang telah berada dalam bahaya dan dirasakan akan mati, dan pada ketika itu,        mereka bertaubat kepada Allah, maka Allah tidak akan menerima taubat hamba-Nya.
Firman Allah S.W.T. dalam Surah An-Nissa ayat 18, maksudnya:
   “Dan tidak ada gunanya taubat itu kepada orang-orang yang selalu melakukan kejahatan, hingga apabila salah seorang dari mereka hampir mati, berkatalah ia: “Sesungguhnya aku bertaubat sekarang ini.” (sedang taubatnya itu sudah terlambat), dan (demikian juga halnya) orang-orang yang mati sedang mereka tetap kafir. Orang-orang yang demikian, Kami telah sediakan bagi mereka azab seksa yang tidak terperi sakitnya.”
c) Hampir Kiamat
                   Apabila Kiamat bakal menjelma, Allah tidak akan menerima taubat hamba-Nya. Antara tanda Kiamat Kubra adalah apabila matahari terbit dari arah tempat terbenamnya ia, iaitu barat. Dan apabila matahari terbit dari barat, ketika itulah Kiamat menjelma dan ketika itu jugalah taubat hamba-Nya tidak diterima oleh Allah S.W.T.
     "Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah oleh kalian sesungguhnya kamipun menunggu (pula)’." (Al-An’am: 158)