Jumat, 03 Oktober 2014

Dokumentasi Hadits

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Pada dasarnya, ulumul hadits telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadits dalam Islam, terutama setelah Rasululloh SAW wafat. Ketika umat Islam merasakan perlunya menghimpun hadits-hadits Rasul SAW, karena adanya kekhawatiran hadits tersebut akan lenyap. Dasar dan landasan periwayatan hadits dalam Islam dijumpai di dalam Al-Qur’an dan hadits Rasul SAW.
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadits mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar saja karena Al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar Khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin
Sedangkan penulisan hadits pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada abad ke-2 H dan mengalami kejayaan pada abad ke-3 H. Perkembangan perhimpunan dan pengkodifikasian hadits di sini dibagi menjadi 5 periode, yaitu periode Nabi Muhammad SAW, Periode Sahabat, Periode Tabi’in, dan Periode Tabi’ tabi’in dan Periode setelah Tabi’ Tabi’in

B.       Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai:
1.      Bagaimana sejarah penulisan al-hadits?
2.      Apa saja macam-macam hadits itu?
3.      Bagaimana bentuk penyusunan kitab-kitab hadits?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Kodifikasi Hadist
1.    Penulisan Hadits pada Periode Rasululloh SAW
Pada masa Rasulullah hadits belum resmi ditulis karena terdapat berbagai keterangan dan argumentasi yang kadang-kadang satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Diantaranya ditemukan hadits-hadits yang sebagiannya membenarkan atau bahkan mendorong untuk melakukan penulisan hadits Nabi, di samping ada hadits-hadits lain yang melarang melakukan penulisannya.
Pada permulaan Islam, penulisan hadis merupakan inisiatif perorangan yang dilakukan oleh para sahabat tertentu seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan sahabat lainnya. Mereka melakukan penulisan itu dengan dasar i’tikad baik dan dengan alasan-alasan tertentu pula. Misalnya mereka ingin menulis sabda Nabi pada pedang mereka, seperti dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. Mereka menulis hadis untuk dikirimkan kepada para sahabat yang bertempat tinggal jauh

2.      Penulisan Hadis setelah Nabi Wafat
Setelah Nabi wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits, karena banyaknya problem yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak orang-orang asing/non Arab yang masuk Islam yang tidak paham bahasa Arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara al-Qur’an dan hadits. Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan Sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah di tangan penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam membukukan al-Qur’an.
Meskipun begitu terdapat beberapa dokumentasi penting sebelum pengkodifikasian hadits secara resmi, diantaranya:
a.       Ash-shahifah as-shodiqoh, tulisan Abdullah bin Amr bin Ash (w. 65 H). Tulisan ini berbentuk lembaran-lembaran sesuai namanya ash-shahifah (lembaran), memuat kurang lebih 1000 hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan kitab-kitab Sunan lainnya.
b.      Ash-shahifah Jabir bin ‘Abd Allah Al-anshori (w. 78 H) yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat. Jabir mempunyai majlis atau halaqoh di masjid Nabawi dan mengajarkan hadits-haditsnya secara imlak atau dikte.
c.       Ash-shohifah Ash-shohihah, catatan salah seorang Tabi’in Hammam bin Munabbih (w. 130 H). hadits-haditsnya banyak diriwayatkan dari sahabt besar Abu Hurairah, berisikan kurang lebih 138 buah hadits. Haditsnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhori dalm berbagai bab.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pada abad pertama perkembangan hadis, sebagian perawi mencatat hadis-hadis dari para pendahulunya, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam meriwayatkannya mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga masa pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan
3.      Periode Tabi’in
Pada masa abad ini disebut masa Pengkodifikasian Hadits (al-jam’u wa at-Tadwin). Khalifh Umar bin Abdul Aziz (99-110 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadits, karena beliau khawatir, lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya ulama baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. maka beliau intruksikan kepada para gubernur diseluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits. Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri dinilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan tugas pengkodifikasian hadits dari khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
a.       Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik
b.      Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c.       As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur
d.      Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan
e.       Musnad Asy-Syafi’i.
Teknik pembukuan hadits hadits pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah:
a.       Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’.
b.      Al-Muwatththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf.
c.       Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalh pembukuan hadits yang didaarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.

Perkembangan pembukuan hadits pada periode tabi’in ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:
a.       Musnad, yaitu menghimpun semua hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya, tidak perbab seperti Fiqih dan kualitasnya ada yang shahih, hasan dan dha’if. Misalnya musnad Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
b.      Al-Jami’, yaitu teknik pembukuan hadits yang mengakumulasi Sembilan masalah yaitu aqa’id, hukum, perbudakan, adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat-sifat akhlaq, (syamail), fitnah (fitan), dan sejarah (manaqib).
c.       Sunan, teknik penghimpunan hadits secara bab seperti fiqih, setiap bab memuat beberapa hadits dalam satu topic, seperti Sunan An-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, dan sunan Abu Dawud.
4.      Periode Tabi’ Tabi’in
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadits, sebab pada masa ini ulama hadits telah berhasil memisahkan hadits Nabi SAW dari yang bukan hadits atau dari hadits Nabi, dari perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi, sehingga telah dapat di pisahkan mana hadits yang shahih dan mana yang bukan shahih. Yang pertama kali berhasil membukukan hadits shahih saja adalah Al-Bukhori kemudian disusul Imam Muslim. Oleh karena itu, periode ini dengan juga disebut masa kodifikasi dan filterisasi (Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih).
Pada masa ini lahir pula lahir buku induk enam (Ummahat kutub as-sittah), yang dijadikan pedoman dan referensipara ulama’ hadits berikutnya, yaitu:
1. Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhori (194-256 H)
2. Al-Jami’ ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (204-261 H)
3. Sunan An-Nasa’i (215-303 H)
4. Sunan Abu Dawud (202-276 H)
5. Jami’ at-Tirmidzi (209-269 H)
6. Sunan Ibnu Majah Al-Qazwini (209-276 H)

5.      Periode Setelah Tabi’ Tabi’in
Pada masa abad ini disebut Penghimpunan dan penertiban (Al-Jam’I al-Tartib), Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama Mutaakhirin atau Khalaf (modern) sedang yang hidup sebelum abad 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau Ulama Salaf (klasik). Perbedaan mereka dalam periwayatan dan kodifikasi hadits, ulama mutaqaddimin hadits Nabi dengan cara mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan maupun sanadnya. Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan perjalanan jauh untuk mengecek kebenaran hadits yang mereka dengar dari orang lain. Sedang ulama mutaakhirin cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu, tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan berikuutnya kecuali hanya sedikit saja. Namun, dari segi tekhnik pembukuan lebih sistematik dari pada masa-masa sebelumnya.
Perkembangan teknik pembukuan pada abad ini yakni pada abad 4-6 ialah sebagai berikut:
a.       Mu’jam, artinya penghimpunan hadits yang berdasarkan nama sahabat secara abjad (alphabet) seperti Al-mu’jam al-kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (w. 360 H). atau diartikan seperti Kamus ialah penghimpunan hadits didasarkan pada nama Masyayikh-nya atau negeri tempat tinggal atau kabilah secara abjad seperti Al-mu’jam al-awsath oleh penulis yang sama.
b.      Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadits Shahihayn (Al-bukhori dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits shahih saja menurut penulisnya seperti Shahih Ibnu Hibban Al-bas’ti (w. 354 H) dan lain-lain.
c.       Al-mustadrok, artinya menambah beberapa hadits shahih yang belum disebutkan dalam kitab Al-bukhori dan Muslim serta memenuhi persyaratan keduanya, seperti Almustadrok ‘ala Shahihayn yang ditulis Abi Abdillah Al-Hakim An-Naissaburi (w. 405 H).
d.      Sunan, metode penulisannya seperti kitab sunan abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadits-hadits tentang hukum seperti fikih dan kualitasnya meliputi shahih, hasan, dan dha’if, seperti Muntaqo ibn al-Jarud (w. 307 H), Syarah ad-Daruquthni (w. 385 H) dan Sunan Al-Bayhaqi (w. 458 H) .
e.       Syarah, yakni penjelasan hadits baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadits atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau dengan hadits lain, misalnya Syarah Ma’ani Al-Atsar, dan Syarah Musykil Al-Atsar ditulis Ath-thahawi (w. 458 H).
f.       Mustakhroj, yaitu seorang penghimpun hadits mengeluarkan beberapa buah hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya Mustadrok Abi Bakr Al-Isma’ili ‘ala Shahih Al-Bukhori (w.371 H).
g.      Al-jam’u, gabungan dua atau beberapa buku hadits menjadi satu buku, Al-jam’u Bayn Ash-shahihayn yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan ibn al-Furat (w. 401 H).
Pada masa berikutnya abad ke 7-8 dan berikutnya disebut masa Penghimpunan dan Pembukuan Hadits secara sistematik(Al-jam’u wal At-tandzim).

B.     Macam-Macam Hadits
1)      Hadits Berdasarkan Kuantitas
a)      Hadist mutawatir
Hadits mutawir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang sudah bersepakat tidak mungkin bohong, dari awal sampai akhir sanad.
Yang termasuk hadist mutawatir adalah hadits-hadits yang pasti berasal dari rasulullah saw. Oleh karena itu, kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran islam tinggi sekali
b)      Hadist ahad
Hadist ahad adalah  hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir.
Hadist ahad  tidak pasti berasal dari rasulullah saw, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau,  maka kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran islam berada dibawah kedudukan hadist mutawatir. .
Namun jika ada hadist yang termasuk kelompok hadist ahad  bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus ditolak.

Pembagian hadist ahad
1)      Hadist masyhur (hadist mustafidah)
Pengertian hadits masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan dari awal hingga akhir sanad oleh 3 orang /lebih dan belum sampai jumlah mutawatir
Otentitas hadits masyhur :
Penilaian hadits masyhur adalah berdasarkan popularitas, bukan berdasarkan kekuatan.
Karena itu hadits masyhur ada yang sahih, ada yang hasan dan ada yang da’if. Bahkan banyak juga yang palsu.
2)      Hadist ‘aziz/ mustafidh
Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan melalui 2 jalur periwayatan, dalam satu tingkatannya
Dalam matan alfiah al-suyuti, hadits aziz dapat dikategorikan sahih jika memenuhi persyaratan hadits sahih, dan akan dikelompokkan ke hadits palsu jika terdapat tanda dan ciri hadits palsu.
3)      Hadist gharib
Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh 1 orang, baik pada setiap tingkatan sanadnya/pada sebagian sanadnya/juga pada satu tingkatan sanadnya saja

2)      Hadits Berdasarkan Kualitas

a)      Hadits sahih

Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat ingatannya (dhabith), sanadnya bersambung, terhindar dari illat dan tidak syadz

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hadits sahih
1)        Sambung sanadnya
Bahwa setiap perawi memang menerima hadist secara langsung dari perawi seatasnya sejak permulaan sanad sampai penghabisannya.
Dengan kata lain, perawi itu bertemu dan menerima langsung daro guru yang memberinya.
2)        Perawinya harus adil
Setiap perawinya haruslah memiliki sifat sebagai orang islam, baligh, berakal, tidak fasiq, dan tidak cacat muru’ahnya.
Keadilan perawi menurut  al-sam’ani terletak pada 4 syarat, yaitu :
                                                            i.            Selalu menjaga perbuatan hingga jauh dari maksiat
                                                          ii.            Menjauhi dosa-dosa kecil
                                                        iii.            Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman
                                                        iv.            Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan syara’
3)        Sempurna ingatannya (dhabit)
Dalam arti, ingatannya lebih banyak dari pada lupanya, serta kebenaran lebih banyak dari pada salahnya.
Dhabit ada 2 macam :
                                                            i.        Dhabit al-shadr, yaitu perawi hafal benar dengan apa yangh ia dengar dan memungkinkan bagibya untuk menyampaikan kapan saja ketika dikehendaki.
                                                          ii.        Dhabit al-kitab, yaitu perawi bwnar-benar menjaga kitab yang ia tulis sejak ia mendengarnya serta tidak menyerahkan kitab tersebut  kepada orang-orang yang tidak bisa menjaganya.
4)        Tidak janggal/bertentangan denga riwayat yang lebih kuat (syadz)
Hadisnya tidaklah merupakan hadist yang syadz. Syadz artinya tidak cocoknya seorang perawi terpercaya terhadap seorang perawi yang lebih terpercaya darinya.
5)        Terhindar dari cacat (illat)

Pembagian hadits sahih
Hadist sahih dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
a)      Hadist sahih lidzatih
Adalah hadist yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadist sahih.
b)      Hadist sahih lighairih
Adalah hadist dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadist sahih karena diperkuat oleh hadist-hadist yang lain.
b.      Hadits hasan
Hadist hasan, menurut bahasa berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadist hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
c.       Hadits dha’if
Hadits dha’if menurut bahasa berarti hadist yang lemah. Para ulama memberikan bagi hadist dha’if yaitu hadist yang tidak menghimpun sifat-sifat hadist sahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadist hasan.

C.    Bentuk Penyusunan Kitab
Sistem pembukuan (kodifikasi) hadits dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk :
1.      Kitab Shahih
Yaitu kitab hadits yang disusun dengan cara menghimpun hadits-hadits yang berkualitas shahih, sedang hadits-hadits yang berkualitas tidak shahih tidak dimasukkan ke dalam kitab. Bentuk penyusunan kitab shahih termasuk bentuk mushannaf.
Contohnya: kitab al-Jami’ al-Shahih, karya al-Bukhari, dan al-Jani’ al-Shahih karya Imam Muslim.
2.      Kitab Sunan
Yaitu kitab hadits yang dususun, selaim memuat hadits-hadits yang berkualitas shahih, juga mengikut sertakan hadits yang berkualitas hasan dan dha’if, dengan catatan tidak berkualitas hadits mungkar dan terlalu lemah. Untuk hadits yang berkualitas tidak shahih biasanya , oleh penyusunnya, diterangkan kelemahannya. Kitab sunan termasuk disusun dengan metode mushannaf.
Contohnya adalah Kitab Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah dan Sunan al-Darimi.
3.      Kitab Musnad
Yaitu kitab hadits yang disusun dengan menggunakan nama-nama perawi pertamanya (rawi dari kalangan shahabat Nabi) sebagai bab. Misalnya hadits-hadits yang diriwayatkan saiyidah A’isyah, dihimpun di bawah titel A’isyah. Hadits-hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas,dihimpun di bawah titel Ibnu Abbas dan seterusnya. Kitab musnad ini berisi hadits yang berkualitas shahih dan tidak shahih, tetapi tidak dijelaskan kualitasnya oleh sang penyusun.
Contoh Kitab Musnad , karya Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad, karya Abu al-Qasim al-Baghawi, kitab Musnad , karya Utsman bin Abi Syaibah.

Di samping menyusun kitab hadits seperti metode yang ditempuh ulama sebelumnya, yaitu dalam bentuk mushannaf dan musnad, juga menyususn kitab hadits dengan sistem baru sebagai berikut:
a.       Kitab Athraf
Yaitu kitab hadits yang isinya hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan hadits tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan yang bersangkutan., baik dari sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip, maupun dari kitab lain. Misalnya :
1)      Athraf al-Shahihain, karya Ibrahin al-Dimasyqy
2)      Athraf sl-Shahihain, susunan Abu Muhammad Khallaf Ibnu Muhammad al-Wasithi
3)      Athraf Kutub al-Sittah, susunan Muhammad Ibnu Thahir al-Maqdisi
b.       Kitab Mustakhraj
Yaitu kitab hadits yang memuat matan-matan hadits yang diriwayatkan misalnya oleh al-Bukhari dan Muslim, atau salah satunya, kemudian penyusun kitab meriwayatkan matan-matan hadits tersebut dengan menggunakan sanadnya sendiri yang berbeda. Misalnya:
1)      Mustakhraj Shahih al-Bukhari , karya al-Jurjani
2)      Mustakhraj Shahih Muslim, karya Abu Awanah
3)      Mustakhraj Bukhari-Muslim, karya Abu Bakar Ibnu Abdan al-Syirazi
c.       Kitab al-Mustadrak 
Yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits yang memiliki syarat , misalnya Bukhari-Muslim, atau memiliki syarat dengan salah satu kitab Bukhari-Muslim. Contohnya : Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihaini, karya Imam al-Hakim
d.      Kitab Jami’
Yaitu kitab hadits yang menghimpun (mengumpulkan )hadits hadits Nabi yang terlah termuat dalam kitab yang telah ada dalam satu kitab tertentu. Contohnya :
1)      Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya Ibnu al-Furat
2)      Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya al-Baghawi
3)      Mashabih al-Sunan, karya al-Baghawi
e.       Kitab Berdasar pokok Masalah
Yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits Nabi berdasar masalah tertentu dari kitab-kitab yang telah ada, contohnya antara lain:
1)      Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majduddin Abd. Salam
2)      Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baghawi
3)      Umdat al-Ahkam, karya Abd. Ghoni al-Maqdisi
f.       Kitab Syarah 
Yaitu kitab hadits yang memuat hadits-hadits dari kitab tertentu yang sudah ada, kemudian dijelaskan dan dikomentari maksudnya, baik dengan menggunakan ayat al-qur’an, atau hadits nabi atau dengan keterangan rasional. Contohnya antara lain:
1)      Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Atsqalani
2)      Al-Minhaj, Syarah Muslim, karya Imam al-Nawawi
3)      Qutul Mughtadzi, Syarah al-Turmudzi, karya Imam al-Syuyuthi
g.      Kitab Mukhtashar 
Yaitu kitab hadits yang memuat hadits hadits yang sudah dihimpun dalam kitab yang sudah ada, dengan cara menyederhanakan / meringkas periwayatan hadits tertentu. Misalnya dengan membuang sanad, Contoh :
1)      Al-Jami’ al-Shaghir, mukhtashar kitab Jam’ul Jawami’, karya Imam al-Syuyuthi
2)      Muhtashar Shahih-Muslim, karya Muhammad Fu’ad Abd. Baqi
h.      Kitab Tahrij  
Yaitu kitab yang disusun dengan memuat penjelasan tentang tempat-tempat pengambilah hadits yang dimuat dalam kitab tertentu, selkaligus menjelaskan kualitanya. Di antara contohnya :
1)      Kitab Takhrij Ahadits al-Anbiya’, karya Al-Iraqi, merupakan kitab tahrij terhadap hadits-hadits yang ada dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, karya al-Ghazali
2)      Kitab Takhrij Ahadits al-Baidhawi, karya al-Mannawi,sebagai takhrij terhadap hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Tafsir Baidhawi .
i.        Kitab Zawa’id  

Yaitu kitab hadits yang disusun dengan memuat hadits-hadits yang diriwayatakan oleh ulama hadits tertentu (dan dimuat dalam kitab ulama tersebut, misalnya hadits yang dimuat dalam kitab Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi), tetapi tidak dimuat di dalam kitab hadits yang disusun oleh ulama tertentu pula.Contohnya Seperti kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra, karya al-Bushiri. Memuat hadits hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi. Tetapi tidak dimuat dalam al-Kutub al-Sittah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar