BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya, ulumul hadits telah
lahir sejak dimulainya periwayatan hadits dalam Islam, terutama setelah
Rasululloh SAW wafat. Ketika umat Islam merasakan perlunya menghimpun
hadits-hadits Rasul SAW, karena adanya kekhawatiran hadits tersebut akan
lenyap. Dasar dan landasan periwayatan hadits dalam Islam dijumpai di dalam Al-Qur’an
dan hadits Rasul SAW.
Dalam sejarah penghimpunan dan
kodifikasi hadits mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap
dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar saja karena
Al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana,
dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar Khalifah pertama dari Khulafa
Ar-Rasyidin
Sedangkan penulisan hadits pada masa
Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai
pada abad ke-2 H dan mengalami kejayaan pada abad ke-3 H. Perkembangan
perhimpunan dan pengkodifikasian hadits di sini dibagi menjadi 5 periode, yaitu
periode Nabi Muhammad SAW, Periode Sahabat, Periode Tabi’in, dan Periode Tabi’
tabi’in dan Periode setelah Tabi’ Tabi’in
B.
Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai:
1. Bagaimana sejarah penulisan
al-hadits?
2. Apa
saja macam-macam hadits itu?
3. Bagaimana bentuk penyusunan kitab-kitab hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Kodifikasi Hadist
1. Penulisan Hadits pada Periode Rasululloh SAW
Pada masa Rasulullah hadits belum resmi ditulis karena
terdapat berbagai keterangan dan argumentasi yang kadang-kadang satu dengan
yang lainnya saling bertentangan. Diantaranya ditemukan hadits-hadits yang
sebagiannya membenarkan atau bahkan mendorong untuk melakukan penulisan hadits
Nabi, di samping ada hadits-hadits lain yang melarang melakukan penulisannya.
Pada permulaan Islam, penulisan hadis merupakan
inisiatif perorangan yang dilakukan oleh para sahabat tertentu seperti Abdullah
bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan sahabat lainnya. Mereka
melakukan penulisan itu dengan dasar i’tikad baik dan dengan alasan-alasan
tertentu pula. Misalnya mereka ingin menulis sabda Nabi pada pedang mereka,
seperti dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. Mereka menulis hadis untuk
dikirimkan kepada para sahabat yang bertempat tinggal jauh
2. Penulisan Hadis setelah Nabi Wafat
Setelah Nabi
wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits,
karena banyaknya problem yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok orang
yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak orang-orang asing/non Arab
yang masuk Islam yang tidak paham bahasa Arab secara baik sehingga
dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara al-Qur’an dan hadits. Abu Bakar pernah
berkeinginan membukukan Sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah
di tangan penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu
Bakar dalam membukukan al-Qur’an.
Meskipun begitu terdapat beberapa dokumentasi penting
sebelum pengkodifikasian hadits secara resmi, diantaranya:
a.
Ash-shahifah as-shodiqoh, tulisan
Abdullah bin Amr bin Ash (w. 65 H). Tulisan ini berbentuk lembaran-lembaran
sesuai namanya ash-shahifah (lembaran), memuat kurang lebih 1000 hadits
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan kitab-kitab Sunan lainnya.
b.
Ash-shahifah Jabir bin ‘Abd Allah
Al-anshori (w. 78 H) yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat. Jabir mempunyai
majlis atau halaqoh di masjid Nabawi dan mengajarkan hadits-haditsnya secara
imlak atau dikte.
c.
Ash-shohifah Ash-shohihah, catatan
salah seorang Tabi’in Hammam bin Munabbih (w. 130 H). hadits-haditsnya banyak
diriwayatkan dari sahabt besar Abu Hurairah, berisikan kurang lebih 138 buah
hadits. Haditsnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
Musnad-nya dan oleh Al-Bukhori dalm berbagai bab.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pada abad pertama
perkembangan hadis, sebagian perawi mencatat hadis-hadis dari para
pendahulunya, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam meriwayatkannya mereka
berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus
berlangsung hingga masa pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan
3. Periode Tabi’in
Pada masa abad ini disebut masa Pengkodifikasian
Hadits (al-jam’u wa at-Tadwin). Khalifh Umar bin Abdul Aziz (99-110 H) yakni
yang hidup pada akhir abad 1H menganggap perlu adanya penghimpunan dan
pembukuan hadits, karena beliau khawatir, lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah
wafatnya ulama baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. maka beliau intruksikan
kepada para gubernur diseluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli
ilmu menghimpun dan membukukan hadits. Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab
Az-Zuhri dinilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan tugas
pengkodifikasian hadits dari khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
a.
Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam
Malik
b.
Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin
Hammam Ash-Shan’ani
c.
As-Sunnah ditulis oleh Abd bin
Manshur
d.
Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar
bin Syaybah, dan
e.
Musnad Asy-Syafi’i.
Teknik pembukuan hadits hadits pada periode ini
sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf,
al-muwaththa’, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah:
a.
Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan
sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan
pada klasifikasi hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadits marfu’, mauquf,
dan maqthu’.
b.
Al-Muwatththa’ dalam bahasa
diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah Al-Muwaththa’ diartikan sama
dengan Mushannaf.
c.
Musnad dalam bahasa tempat sandaran
sedang dalam istilah adalh pembukuan hadits yang didaarkan pada nama para
sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
Perkembangan pembukuan hadits pada periode tabi’in ada
3 bentuk, yaitu sebagai berikut:
a.
Musnad, yaitu menghimpun semua
hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya, tidak
perbab seperti Fiqih dan kualitasnya ada yang shahih, hasan dan dha’if.
Misalnya musnad Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
b.
Al-Jami’, yaitu teknik pembukuan
hadits yang mengakumulasi Sembilan masalah yaitu aqa’id, hukum, perbudakan,
adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat-sifat akhlaq, (syamail),
fitnah (fitan), dan sejarah (manaqib).
c.
Sunan, teknik penghimpunan hadits
secara bab seperti fiqih, setiap bab memuat beberapa hadits dalam satu topic,
seperti Sunan An-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, dan sunan Abu Dawud.
4. Periode Tabi’ Tabi’in
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan
hadits, sebab pada masa ini ulama hadits telah berhasil memisahkan hadits Nabi
SAW dari yang bukan hadits atau dari hadits Nabi, dari perkataan sahabat dan
fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi (penyaringan) yang
sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi, sehingga telah dapat di pisahkan
mana hadits yang shahih dan mana yang bukan shahih. Yang pertama kali berhasil
membukukan hadits shahih saja adalah Al-Bukhori kemudian disusul Imam Muslim.
Oleh karena itu, periode ini dengan juga disebut masa kodifikasi dan
filterisasi (Ashr Al-Jami’ wa At-Tashhih).
Pada masa ini lahir pula lahir buku induk enam
(Ummahat kutub as-sittah), yang dijadikan pedoman dan referensipara ulama’
hadits berikutnya, yaitu:
1. Al-Jami’
Ash-Shahih li Al-Bukhori (194-256 H)
2. Al-Jami’
ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (204-261 H)
3. Sunan
An-Nasa’i (215-303 H)
4. Sunan Abu
Dawud (202-276 H)
5. Jami’
at-Tirmidzi (209-269 H)
6. Sunan
Ibnu Majah Al-Qazwini (209-276 H)
5. Periode Setelah Tabi’ Tabi’in
Pada masa abad ini disebut Penghimpunan dan penertiban
(Al-Jam’I al-Tartib), Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut
ulama Mutaakhirin atau Khalaf (modern) sedang yang hidup sebelum abad 4 H
disebut ulama mutaqaddimin atau Ulama Salaf (klasik). Perbedaan mereka dalam
periwayatan dan kodifikasi hadits, ulama mutaqaddimin hadits Nabi dengan cara
mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan
maupun sanadnya. Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan perjalanan jauh
untuk mengecek kebenaran hadits yang mereka dengar dari orang lain. Sedang
ulama mutaakhirin cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip
dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu, tidak banyak penambahan hadits
pada abad ini dan berikuutnya kecuali hanya sedikit saja. Namun, dari segi
tekhnik pembukuan lebih sistematik dari pada masa-masa sebelumnya.
Perkembangan teknik pembukuan pada abad ini yakni pada
abad 4-6 ialah sebagai berikut:
a.
Mu’jam, artinya penghimpunan hadits
yang berdasarkan nama sahabat secara abjad (alphabet) seperti Al-mu’jam al-kabir
Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (w. 360 H). atau diartikan seperti Kamus ialah
penghimpunan hadits didasarkan pada nama Masyayikh-nya atau negeri tempat
tinggal atau kabilah secara abjad seperti Al-mu’jam al-awsath oleh penulis yang
sama.
b.
Shahih, artinya metode pembukuannya
mengikuti metode pembukuan hadits Shahihayn (Al-bukhori dan Muslim) yang hanya
mengumpulkan hadits shahih saja menurut penulisnya seperti Shahih Ibnu Hibban
Al-bas’ti (w. 354 H) dan lain-lain.
c.
Al-mustadrok, artinya menambah
beberapa hadits shahih yang belum disebutkan dalam kitab Al-bukhori dan Muslim
serta memenuhi persyaratan keduanya, seperti Almustadrok ‘ala Shahihayn yang
ditulis Abi Abdillah Al-Hakim An-Naissaburi (w. 405 H).
d.
Sunan, metode penulisannya seperti
kitab sunan abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadits-hadits tentang hukum
seperti fikih dan kualitasnya meliputi shahih, hasan, dan dha’if, seperti
Muntaqo ibn al-Jarud (w. 307 H), Syarah ad-Daruquthni (w. 385 H) dan Sunan
Al-Bayhaqi (w. 458 H) .
e.
Syarah, yakni penjelasan hadits baik
yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadits
atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau dengan hadits lain,
misalnya Syarah Ma’ani Al-Atsar, dan Syarah Musykil Al-Atsar ditulis
Ath-thahawi (w. 458 H).
f.
Mustakhroj, yaitu seorang penghimpun
hadits mengeluarkan beberapa buah hadits seperti yang diterima dari gurunya
sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya Mustadrok Abi Bakr
Al-Isma’ili ‘ala Shahih Al-Bukhori (w.371 H).
g.
Al-jam’u, gabungan dua atau beberapa
buku hadits menjadi satu buku, Al-jam’u Bayn Ash-shahihayn yang ditulis oleh
Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan ibn al-Furat (w. 401 H).
Pada masa
berikutnya abad ke 7-8 dan berikutnya disebut masa Penghimpunan dan Pembukuan
Hadits secara sistematik(Al-jam’u wal At-tandzim).
B.
Macam-Macam
Hadits
1) Hadits
Berdasarkan Kuantitas
a) Hadist mutawatir
Hadits mutawir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang yang sudah bersepakat tidak mungkin bohong,
dari awal sampai akhir sanad.
Yang termasuk hadist mutawatir adalah
hadits-hadits yang pasti berasal dari rasulullah saw. Oleh karena itu,
kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran islam tinggi sekali
b)
Hadist ahad
Hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai
jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima
atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadist dengan
jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir.
Hadist ahad
tidak pasti berasal dari rasulullah saw, tetapi diduga (zhanni
dan mazhnun) berasal dari beliau,
maka kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran islam berada dibawah
kedudukan hadist mutawatir. .
Namun jika ada hadist yang termasuk kelompok hadist
ahad bertentangan isinya dengan hadist
mutawatir, maka hadist tersebut harus ditolak.
Pembagian
hadist ahad
1)
Hadist masyhur (hadist
mustafidah)
Pengertian
hadits masyhur
Hadits masyhur
adalah hadits yang diriwayatkan dari awal hingga akhir sanad oleh 3 orang
/lebih dan belum sampai jumlah mutawatir
Otentitas hadits
masyhur :
Penilaian
hadits masyhur adalah berdasarkan popularitas, bukan berdasarkan kekuatan.
Karena
itu hadits masyhur ada yang sahih, ada yang hasan dan ada yang da’if. Bahkan
banyak juga yang palsu.
2)
Hadist ‘aziz/ mustafidh
Hadits
aziz adalah hadits yang diriwayatkan melalui 2 jalur periwayatan, dalam satu
tingkatannya
Dalam
matan alfiah al-suyuti, hadits aziz dapat dikategorikan sahih jika memenuhi
persyaratan hadits sahih, dan akan dikelompokkan ke hadits palsu jika terdapat
tanda dan ciri hadits palsu.
3)
Hadist gharib
Hadits
gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh 1 orang, baik pada setiap tingkatan
sanadnya/pada sebagian sanadnya/juga pada satu tingkatan sanadnya saja
2) Hadits Berdasarkan Kualitas
a) Hadits sahih
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat ingatannya (dhabith), sanadnya bersambung, terhindar dari illat dan tidak syadz
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh hadits sahih
1)
Sambung sanadnya
Bahwa
setiap perawi memang menerima hadist secara langsung dari perawi seatasnya
sejak permulaan sanad sampai penghabisannya.
Dengan
kata lain, perawi itu bertemu dan menerima langsung daro guru yang memberinya.
2)
Perawinya harus adil
Setiap
perawinya haruslah memiliki sifat sebagai orang islam, baligh, berakal, tidak
fasiq, dan tidak cacat muru’ahnya.
Keadilan
perawi menurut al-sam’ani terletak pada
4 syarat, yaitu :
i.
Selalu menjaga
perbuatan hingga jauh dari maksiat
ii.
Menjauhi dosa-dosa
kecil
iii.
Tidak melakukan
perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman
iv.
Tidak mengikuti salah
satu mazhab yang bertentangan dengan syara’
3)
Sempurna ingatannya (dhabit)
Dalam
arti, ingatannya lebih banyak dari pada lupanya, serta kebenaran lebih banyak
dari pada salahnya.
Dhabit
ada 2 macam :
i.
Dhabit al-shadr, yaitu
perawi hafal benar dengan apa yangh ia dengar dan memungkinkan
bagibya untuk menyampaikan kapan saja ketika dikehendaki.
ii.
Dhabit al-kitab, yaitu
perawi bwnar-benar menjaga kitab yang ia tulis sejak ia mendengarnya serta
tidak menyerahkan kitab tersebut kepada
orang-orang yang tidak bisa menjaganya.
4)
Tidak
janggal/bertentangan denga riwayat yang lebih kuat (syadz)
Hadisnya
tidaklah merupakan hadist yang syadz. Syadz artinya tidak cocoknya seorang
perawi terpercaya terhadap seorang perawi yang lebih terpercaya darinya.
5)
Terhindar dari cacat (illat)
Pembagian
hadits sahih
Hadist
sahih dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
a)
Hadist sahih lidzatih
Adalah hadist yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadist
sahih.
b)
Hadist sahih lighairih
Adalah
hadist dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadist sahih karena diperkuat oleh
hadist-hadist yang lain.
b. Hadits hasan
Hadist hasan, menurut bahasa
berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadist hasan tidak
mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari
hadist sahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat
hafalannya. Semua syarat hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya
rawi).
c.
Hadits dha’if
Hadits dha’if menurut bahasa
berarti hadist yang lemah. Para ulama memberikan bagi hadist dha’if yaitu
hadist yang tidak menghimpun sifat-sifat hadist sahih dan juga tidak menghimpun
sifat-sifat hadist hasan.
C. Bentuk
Penyusunan Kitab
Sistem pembukuan (kodifikasi) hadits dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk :
1.
Kitab Shahih
Yaitu kitab hadits yang disusun dengan cara menghimpun
hadits-hadits yang berkualitas
shahih, sedang hadits-hadits yang berkualitas tidak shahih tidak dimasukkan ke
dalam kitab. Bentuk penyusunan kitab shahih termasuk bentuk mushannaf.
Contohnya: kitab
al-Jami’ al-Shahih, karya al-Bukhari, dan al-Jani’ al-Shahih karya Imam Muslim.
2.
Kitab Sunan
Yaitu kitab
hadits yang dususun, selaim memuat hadits-hadits yang berkualitas shahih, juga
mengikut sertakan hadits yang berkualitas hasan dan dha’if, dengan catatan
tidak berkualitas hadits mungkar dan terlalu lemah. Untuk hadits yang
berkualitas tidak shahih biasanya , oleh penyusunnya, diterangkan kelemahannya.
Kitab sunan termasuk disusun dengan metode mushannaf.
Contohnya adalah Kitab Sunan Abu Dawud, Sunan
Al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah dan Sunan al-Darimi.
3.
Kitab Musnad
Yaitu kitab hadits yang disusun dengan menggunakan nama-nama perawi
pertamanya (rawi dari kalangan shahabat Nabi) sebagai bab. Misalnya
hadits-hadits yang diriwayatkan saiyidah A’isyah, dihimpun di bawah titel
A’isyah. Hadits-hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas,dihimpun di bawah titel
Ibnu Abbas dan seterusnya. Kitab musnad ini berisi hadits yang berkualitas
shahih dan tidak shahih, tetapi tidak dijelaskan kualitasnya oleh sang
penyusun.
Contoh Kitab Musnad , karya Ahmad bin Hambal, Kitab
Musnad, karya Abu al-Qasim al-Baghawi, kitab Musnad , karya Utsman bin Abi
Syaibah.
Di samping
menyusun kitab hadits seperti metode yang ditempuh ulama sebelumnya, yaitu
dalam bentuk mushannaf dan musnad, juga menyususn kitab hadits dengan sistem
baru sebagai berikut:
a.
Kitab Athraf
Yaitu kitab
hadits yang isinya hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan hadits tertentu,
kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan yang bersangkutan., baik dari
sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip, maupun dari kitab lain.
Misalnya :
1)
Athraf al-Shahihain, karya Ibrahin
al-Dimasyqy
2)
Athraf sl-Shahihain, susunan Abu
Muhammad Khallaf Ibnu Muhammad al-Wasithi
3)
Athraf Kutub al-Sittah, susunan
Muhammad Ibnu Thahir al-Maqdisi
b.
Kitab Mustakhraj
Yaitu kitab
hadits yang memuat matan-matan hadits yang diriwayatkan misalnya oleh
al-Bukhari dan Muslim, atau salah satunya, kemudian penyusun kitab meriwayatkan
matan-matan hadits tersebut dengan menggunakan sanadnya sendiri yang berbeda.
Misalnya:
1)
Mustakhraj Shahih al-Bukhari , karya
al-Jurjani
2)
Mustakhraj Shahih Muslim, karya Abu
Awanah
3)
Mustakhraj Bukhari-Muslim, karya Abu
Bakar Ibnu Abdan al-Syirazi
c.
Kitab al-Mustadrak
Yaitu kitab
hadits yang menghimpun hadits hadits yang memiliki syarat , misalnya
Bukhari-Muslim, atau memiliki syarat dengan salah satu kitab Bukhari-Muslim.
Contohnya : Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihaini, karya Imam al-Hakim
d.
Kitab Jami’
Yaitu kitab
hadits yang menghimpun (mengumpulkan )hadits hadits Nabi yang terlah termuat
dalam kitab yang telah ada dalam satu kitab tertentu. Contohnya :
1)
Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya
Ibnu al-Furat
2)
Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya
al-Baghawi
3)
Mashabih al-Sunan, karya al-Baghawi
e.
Kitab Berdasar pokok Masalah
Yaitu kitab
hadits yang menghimpun hadits hadits Nabi berdasar masalah tertentu dari
kitab-kitab yang telah ada, contohnya antara lain:
1)
Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya
Majduddin Abd. Salam
2)
Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baghawi
3)
Umdat al-Ahkam, karya Abd. Ghoni
al-Maqdisi
f.
Kitab Syarah
Yaitu kitab
hadits yang memuat hadits-hadits dari kitab tertentu yang sudah ada, kemudian
dijelaskan dan dikomentari maksudnya, baik dengan menggunakan ayat al-qur’an,
atau hadits nabi atau dengan keterangan rasional. Contohnya antara lain:
1)
Fath al-Bari, Syarah Shahih
al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Atsqalani
2)
Al-Minhaj, Syarah Muslim, karya Imam
al-Nawawi
3)
Qutul Mughtadzi, Syarah al-Turmudzi,
karya Imam al-Syuyuthi
g.
Kitab Mukhtashar
Yaitu kitab
hadits yang memuat hadits hadits yang sudah dihimpun dalam kitab yang sudah
ada, dengan cara menyederhanakan / meringkas periwayatan hadits tertentu.
Misalnya dengan membuang sanad, Contoh :
1)
Al-Jami’ al-Shaghir, mukhtashar
kitab Jam’ul Jawami’, karya Imam al-Syuyuthi
2)
Muhtashar Shahih-Muslim, karya
Muhammad Fu’ad Abd. Baqi
h. Kitab Tahrij
Yaitu kitab yang disusun dengan memuat penjelasan tentang tempat-tempat
pengambilah hadits yang dimuat dalam kitab tertentu, selkaligus menjelaskan
kualitanya. Di antara contohnya :
1) Kitab
Takhrij Ahadits al-Anbiya’, karya Al-Iraqi, merupakan kitab tahrij terhadap
hadits-hadits yang ada dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, karya al-Ghazali
2) Kitab
Takhrij Ahadits al-Baidhawi, karya al-Mannawi,sebagai takhrij terhadap
hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Tafsir Baidhawi .
i.
Kitab Zawa’id
Yaitu kitab
hadits yang disusun dengan memuat hadits-hadits yang diriwayatakan oleh ulama
hadits tertentu (dan dimuat dalam kitab ulama tersebut, misalnya hadits yang
dimuat dalam kitab Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi), tetapi tidak dimuat
di dalam kitab hadits yang disusun oleh ulama tertentu pula.Contohnya Seperti
kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra, karya al-Bushiri. Memuat hadits hadits yang
diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi. Tetapi tidak dimuat dalam al-Kutub
al-Sittah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar