BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata,
mereka tidak pernah membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang.
Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia
mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan
tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu
dipandang sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya
tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang terpenting bagi lenyapnya aliran ini di
kemudian hari.
Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit
ditemukan, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah sepertinya terus berkembang. sebut
saja istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama lainnya
yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari
pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman
dan pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.
Untuk itu makalah ini akan membahas tentang Mu’tazilah agar kita dapat
mengetahui secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah
menyimpang dari ajaran agama Islam.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang melatar belakangi munculnya
Mu’tazilah?
2. Apa corak pemikiran Mu’tazilah
3. Apa saja ajaran-ajaran dasar
Mu’tazilah?
4. Siapa saja tokoh-tokoh Mu’tazilah?
5. Bagaimana kemunduran Mu’tazilah?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah munculnya
Mu’tazilah.
2. Untuk mengetahui ajaran-ajaran dasar
Mu’tazilah.
BAB II
PEMIKIRAN TEOLOGI MU’TAZILAH
A.
LATAR
BELAKANG MUNCULNYA MU’TAZILAH
Nama Mu’tazilah bukan ciptaan orang-orang Mu’tazilah
sendiri,tetapi diberikan oleh orang-orang lain. Orang-orang Mu’tazilah
menamakan dirinya “Ahli keadilan dan keesaan” (ahlu adli wat tauhid).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala
yang berarti berpisah atau memisahkan diri ,yang berarti juga menjauhkan diri
atau menyalahi pendapat orang lain
Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua
golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I ) muncul abad pertama Hijriah sebagai respon
politik murni. Golongan ini digunakan untuk orang-orang (para sahabat) yang
memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik yang
terjadi setelah Usman bin Affan wafat, yaitu pertentangan antara Ali bin Abi
Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah,Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Al-Naubakti dalam kitabnya Firaq al-Syiah,
sebagaimana dikutib oleh HAR Gibb dan J.H.Kramers, mengatakan bahwa setelah Ali
bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah, sekelompok umat Islam memisahkan diri
(i’tizal) dari Ali, meskipun mereka menyetujui pengangkatan tersebut.
Mereka ini disebut golongan Mu’tazilah.
Mu’tazilah dalam bentuk pertama tidak berkembang dan bukan
merupakan aliran teologi Islam. Mu’tazilah yang berkembang dan menjadi salah
satu aliran teologi ialah Mu’tazilah bentuk kedua, pimpinan Whasil bin Atha’.
Golongan kedua ini (selanjutnya disebut Mu’tazilah II )
muncul sebagai respon persoalan teologis
yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa
tahkim.Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan
khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang- orang yang
berbuat dosa besar.
Golongan Mu’tazilah berkembang dengan pesatnya sehingga
mempunyai sistem atau metode dan pendapat-pendapatnya sendiri. Meskipun banyak
golongan-golongan yang ditentang Mu’tazilah namun mereka sendiri sering-sering
terpengaruh oleh golongan-golongan tersebut, karena pendapat dan fikiran selalu
bekerja, baik terhadap lawan maupun kawan, baik menerima atau membantah bahkan
sering-sering masuk kepada lawannya tanpa dikehendaki atau disengaja.
Golongan-golongan yang mempengaruhi aliran Mu’tazilah antara
lain orang-orang Yahudi (misalnya dalam soal baharunya Qur’an) dan orang-orang
Mesehi, seperti Saint John of Damascus (676-749) yang terkenal dengan nama Ibnu
Sarjun, Tsabit bin Qurrah (836-901) murid John tersebut dan Kusto bin Lucas
(820-912)
B.
CORAK
PEMIKIRAN MU’TAZILAH
Aliran Mu’tazilah dikenal sebagai golongan tradisional dalam
Islam, karena di antara yang ada, dialah yang paling banyak memberi fungsi
terhadap akal dalam membahas masalah keagamaan. Namun demikian, untuk
mengetahui secara jelas corak pemikiran aliran Mu’tazilah, maka yang menjadi
pembahasan utama dalam persoalan tersebut adalah peranan akal dalam kehidupan
umat manusia, karena manusia dalam hidupnya di beri dua hal yang menjadi
pedoman baginya agar tidak sesat, yaitu akal dan wahyu. Jika diperhatikan
pembahasan tentang fungsi akal dan wahyu dalam kehidupan beragama di kalangan
Mutakallimin, senantiasa dihubungkan dengan 4 masalah pokok, yaitu:
1. Mengetahui Tuhan,
2. Mengetahui kewajiban Tuhan,
3. Mengetahui baik dan buruk,
4. Mengetahui kewajiban melaksanakan
yang baik dan menjauhi yang buruk.
Aliran
Mu’tazilah dalam melihat masalah tersebut mengatakan bahwa keempat masalah di
atas bisa diketahui akal. Akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan baik
dan buruknya sesuatu sebelum datangnya wahyu, sehingga wajib untuk melakukan
penalaran yang mapan agar dapat mengantar manusia untuk mengetahui
kewajiban-kewajibannya. Karena itu, akal yang sudah sempurna merupakan sumber
pengetahuan yang dapat mengetahui apa yang mendatangkan mudharat dan dosa. Akal
yang sudah sempurna itu dimiliki oleh orang yang sudah mukallaf, sehingga hanya
dialah yang dapat mengetahui 4 masalah tersebut di atas.
Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa semua masalah
secara rinci dapat diketahui oleh akal, tetapi ada hal-hal tertentu dimana akal
sangat membutuhkan penjelasan wahyu karena akal mempunyai keterbatasan, yaitu
dalam perincian terhadap baik dan buruk serta kewajiban umat manusia. Al Jabbar
menjelaskan bahwa akal hanya dapat mengetahui sebahagian yang baik dan buruk
serta kewajiban, sehingga wahyulah yang menyempurnakan pengetahuan akal
tersebut, termasuk menjelaskan cara berterima kasih kepada Tuhan, seperti
shalat, zakat, dan puasa. Karena itu, ada pengetahuan baik yang diketahui oleh
akal dan ada yang diketahui oleh wahyu, begitu pula dalam hal yang buruk.
Fungsi lain dari wahyu dalam pandangan aliran Mu’tazilah dikemukakan oleh al
Syahrastaniy yaitu mengingatkan manusia tentang kewajibannya dan mempercepat
untuk mengetahuinya. Di sini dapat dipahami bahwa jika melalui akal memerlukan
waktu yang lama karena harus ada pengamatan, kemudian dipikirkan lalu mengambil
keputusan. Oleh Harun Nasution dikatakan bahwa fungsi wahyu terhadap akal
sebagai informasi dan konfirmasi. Memberikan informasi terhadap apa yang belum
diketahui oleh akal di samping mengkonfirmasikan apa yang telah diketahui akal.
Aboe Bakar Atjeh menjelaskan tentang fungsi akal bagi aliran Mu’tazilah yaitu
akal dapat menjangkau segala persoalan kehidupan manusia, sehingga apa yang
dihasilkan oleh akal harus di terima. Jika terjadi pertentangan antara hasil
akal dengan ketentuan wahyu, misalnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, maka
harus di ta’wilkan agar sesuai dengan ketentuan akal. Meskipun demikian, aliran
Mu’tazilah tidak meninggalkan aturan.
C.
LIMA
AJARAN DASAR TEOLOGI MU’TAZILAH
Menurut Al-Bagdady dalam kitabnya (al-Farqu bainal Firaqi)
alran Mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 22 golongan, dua diantaranya dianggap
sudah keluar dari Islam.[14] Meskipun terpecah-pecah,
namun semuanya masih tergabung dalam al-Ushul al-Khamzah (lima ajaran
dasar), yaitu:
1. At-Tawhid (ke-Esa-an)
At-Tawhid
dalam pandangan Mu’tazilah berarti meng-Esa-kan Allah dari segala sifat dan
af’alnya yang menjadi pegangan bagi akidah Islam
Tauhid dari golongan Mu’tazilah
adalah:
a. Sifat-sifat Tuhan tidak bersifat
Qadim, kalau sifat Tuhan itu qadim brati Allah itu berbilang-bilang, sebab ada
dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal Maha Esa.
b. Mereka “menafikan” meniadakan
sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam,
pasti Allah itu berbilang.
c. Allah bersifat ‘Alimin, Qadarin,
Hayyun, Samiun, Basyirun dan sebagainya adalah dengan zat-Nya demikian, tetapi
ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
d. Allah tidak dapat diterka dan
dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
e. Mereka menolak aliran Mujasimah,
Musyabilah, Dualisme, dan Trinitas.
f. Tuhan itu bukan benda bukan Arrad
dan tidak berlaku tempat (arah) pada-Nya.
2. Al-Adlu (keadilan)
Manusia
adalah merdeka dalam segala perbuatannya dan bebas bertindak, oleh karena
kebebasan itulah manusia harus mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya.
Apabila perbuatan itu baik, maka Tuhan memberi kebaikan dan kalau perbuatan itu
jelek atau salah jelas, siksaan dari Tuhan yang didapat. Inilah yang mereka
maksud keadilan. mereka berpendapat:
a. Tuhan menguasai kebaikan dan tidak
menghendaki keburukan.
b. Manusia bebas berbuat dan kebebasan
ini karena Qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
c. Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar
hikmah kebijaksanaan.
d. Tuhan tidak melarang atas sesuatu
kecuali terhadap yang dilarang dan menyuruh kecuali yang disuruh-Nya.
e. Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa
manusia memiliki Qudrat dan Iradat, tetapi Qudrat dan Iradat tersebut hanya
merupakan pinjaman belaka.
f. Manusia dapat dilarang atau dicegah
untuk melakukan Qadrat dan Iradat.
3. Al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip
janji dan ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan
keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala
perbuatannya. Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak
terlalu menjalankan kehidupannya.
Ajarannya ialah:
a. Orang mukmin yang berdosa besar lalu
mati sebelum bertaubat ia tidak akan mendapat ampunan dari Tuhan.
b. Di akhirat tidak akan ada Syafaat
karena syafaat berlawanan dengan al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman).
c. Tuhan pasti akan membalas kebaikan
manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia
yang melakukan kejahatan.
4. Al-Manzilah bainal Manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Sebagai
diuraikan terdahulu bahwa dimaksud dengan tempat diantara dua tempat yang
dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang Fasik, yaitu
orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti
akan ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka. Doktrin
ini oleh sebagian teolog dipandang membingungkan dan tidak jelas. Sebab tidak
terdapat penjelasan yang kongkrit dan riil tentang dasar yang digunakan oleh
Mu’tazilah dan keadaan tempat tersebut.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang
kejelekan)
Dasar ini
pada kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan batin dan dengan
dasar itu pula membuat heboh dunia Islam selama 300 tahun, pada abad permulaan
Islam, sebab menurut mereka: “Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap
sesat dan harus dibenarkan atau diluruskan”. Kewajiban ini harus dilaksanakan
oleh setiap muslimin dan muslimat untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk
kepada orang yang sesat. Dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,
Mu’tazilah berpegang kepada Al-Hadist yang artinya: “siapa diantaramu yang
melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu”.
Oleh
karena itulah telah tercatat dalam sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah
membunuh ulama-ulama Islam diantaranya ulama Islam yang terkenal Syekh
Buwaithi, seorang ulama pengganti Imam Syafi’i dalam suatu peristiwa “Qur’an
Makhluk”.
Di sini terdapat
keganjilan-keganjilan dari orang Mu’tazilah sebab amar ma’ruf atau
menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya ma’ruf (kebaikan) bagi kaum Mu’tazilah,
yaitu hanya pendapat mereka bukan ma’ruf (kebaikan) yang sesuai dengan Qur’an.
D.
TOKOH-TOKOH
MU’TAZILAH
1.
Washil
bin Atha’ al-Ghazzal (70-131 H/SM)
Washil bib Atha’ lahir sekitar tahun
70 H di Madinah. Dari Madinah beliau pindah ke Bashrah dan berguru pada hasan
al-Bashri, seorang tokoh dan ulam besar. Ketika belajar dengan Hasan al-Bashri
inilah ia pertama kali melontarkan pendapat yang berbeda dengan gurunya
sehingga dia dan pengikutnya disebut Mu’tazilah.
Pokok-pokok pikiran teologis Washil dapat disimpulkan pada
tiga hal penting:
a.
Tentang
muslim yang berbuat dosa besar, Washil berpendapat, orang itu tidak mukmin,
tidak pula kafir, tapi fasiq.
b.
Mengenai
perbuatan manusia, Washil berpendapat, manusia memiliki kebebasan, kemampuan,
dan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
c.
Tentang
sifat Allah, Washil menolak paham bahwa Tuhan memiliki sifat.
2.
Abu
al-Huzail al-Allaf (135-226 H atau 753-840 M)
Ia menjadi pemimpin aliran
Mu’tazilah Bashrah yang merupakan generasi kedua Mu’tazilah. Tokoh inilah yang
mengintrodusir dan menyusun dasar-dasar paham Mu’tazilah al-ushul al-khamsah,
sehinnga aliran Mu’tazilah mengalami kepesatan. Pendapat-pendapatnya antara
lain:
a.
Hakekat
manusia, hakekatnya adalah badannya, bukan jiwanya (nafh dan rukh).
b.
Gerak
penghuni surga dan neraka, gerak gerik mereka akan berakhir dan menjadi
kesenangan dan siksaan.
c.
Qadar,
manusia bisa mengadakan perbuatan-perbuatannya di dunia, tetapi tidak bisa
berbuat apa-apa di akhirat.
3.
Ibrahim
bin Sayyar an-Nazzam (wafat 231 H atau 845 M)
Ia adalah murid Abul-Huzain
al-Allaf. Ketika kecilnya ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari
golongan Islam dan sesudah dewasa banyak berhubungan dengan filosof-filosof
masanya. Beberapa pendapat-pendapatnya berlainan dengan orang-orang Mu’tazilah
lainnya, antara lain :
a.
Hakekat
manusia, hakekatnya adalah jiwanya bukannya badannya (seperti pendapat
al-Allaf).
b.
Teori
sembunyi (kumun), semua makhluk dijadikan Tuhan sekaligus dalam waktu yang
sama.
c.
Berita
yang benar adalah yang diriwayatkan oleh imam yang ma’sum.
d.
I’jaz
Qur’an (daya pelemah) terletak dalam pemberitaan hal-hal yang gaib.
4.
Bisyr
bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
Salah satu pedapatnya adalah, siapa
yang taubat dari dosa besar kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan
menerima dosa yang pertama juga, sebab taubatnya dapat diterima dengan syarat
tidak mengulangi lagi.
5.
Jahiz
Amr bin Bahr (wafat 255 H/808 M)
Ia terkenal taajam penanya, banyak
karangannya dan banyak membaca buku-buku filsafat, terutama filsafat alam.
Karangan-karangannya yang masih ada hanyalah yang bertalian dengan kasusastran.
6.
Al-Jubba’I
(235-303H atau 849-915M)
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin
Abdul Wahab. Ia berguru pada al-Syahham, salah seorang murid Abu Huzail
al-Allaf. Suasana polotik pada zamannya tidak stabil. Gerakan-gerakan sparatis
di berbagai daerah bermunculan dan dinasti-dinasti kecil lahir dimana-mana
sehingga pemerintahan pusat jauh menurun. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan
tetap berkembang pesat, sebab masing-masing dinasti kecil yang menguasai
beberapa daerah juga tetap turut memajukan ilmu pengetahuan. Di samping itu,
para ilmuwan tidak banyak terpengaruh dengan siruasi dan kondisi politik pada
zaman itu.
E.
KEMUNDURAN
GOLONGAN MU’TAZILAH
Selama beberapa puluh tahun lamanya
golongan Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami
kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan orang-orang Mu’tazilah
sendiri. Mereka hendak membela dan memperjuangkan kebebasan berfikir akan
tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti
pendapat-pendapat mereka. Puncak tindakan mereka adalah ketika Al-Ma’mun
menjadi khalifah dimana mereka bisa memaksakan pendapat dan keyakinan mereka
kepada golongan-golongan lain dengan menggunakan kekuasaan Al-Ma’mun yang
mengakibatkan timbulnya “peristiwa Qur’an”, yang memecah kaum muslimin menjadi
dua blog, yaitu blog yang menuju kekuatan akal-fikiran dan menundukkan agama
kepada ketentuannya. Yang lain adalah blog yang berpegang teguh pada bunyi
nas-nas Qur’an dan Hadis semata-mata dan menganggap tiap-tiap yang baru sebagai
bid’ah dan kafir.
Akan tetapi persengketaan tersebut
dapat dibatasi dengan tindakan al-Mutawakkil, lawan golongan Mu’tazilah untuk
mengembalikan kekuaaan golongan yang mempercayai kezaliman Qur’an. Sejak aat
itu golongan Mu’tazilah mengalami tekanan berat, padahal sebelumnya menjadi
pihak yang selalu menekan. Kitab-kitabnya dibakar dan kekuatannya dicerai-berai
sehingga kemudian tidak lagi ada aliran Mu’tazilah sebagai suatu golongan.
Akan tetapi mundurnya golongan Mu’tazilah
sebagai golongan yang teratur tidak menghalang-halangi lahirnya simpatisan dan
pengikut-pengikut setia yang menyiarkan ajaran-ajarannya. Pada akhir abad
ketiga Hijriyah muncullah Al-Khayyat yang dianggap sumber yang asli untuk
mengetahui pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran Mu’tazilah. Pada permulaan
abad keempat muncullah Abu Bakar al-Ikhsyidi dengan alirannya yang sangat
berpengaruh. Ulama Mu’tazilah angkatan baru yang angat terkenal adalah
Al-Kassyaf. Tafsir ini sangat berpengaruh dan lama sekali menjadi pegangan oleh
ahli Sunnah, sampai lahirnya tafsir Baidlawy. Kegiatan kaum Mu’tazilah baru
hilang sama sekali setelah adanya erangan-serangan oleh orang Mongolia.
Meskipun demikian pikiran-pikiran dan ajaran-ajarannya yang penting masih hidup
ampai sekarang pada golongan Syi’ah Zaidiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar