Jumat, 03 Oktober 2014

Pemikiran Mu'tazillah

BAB I
PENDAHULUAN

  A.        Latar Belakang
Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata, mereka tidak pernah membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak yang menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari.
Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah sepertinya terus berkembang. sebut saja  istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.
Untuk itu makalah ini akan membahas tentang Mu’tazilah agar kita dapat mengetahui secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah menyimpang dari ajaran agama Islam.

  B.        Rumusan Masalah
1.      Apa yang melatar belakangi munculnya Mu’tazilah?
2.      Apa corak pemikiran Mu’tazilah
3.      Apa saja ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah?
4.      Siapa saja tokoh-tokoh Mu’tazilah?
5.      Bagaimana kemunduran Mu’tazilah?


  C.        Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah munculnya Mu’tazilah.
2.      Untuk mengetahui ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah.


BAB II
PEMIKIRAN TEOLOGI MU’TAZILAH

  A.        LATAR BELAKANG MUNCULNYA MU’TAZILAH
Nama Mu’tazilah bukan ciptaan orang-orang Mu’tazilah sendiri,tetapi diberikan oleh orang-orang lain. Orang-orang Mu’tazilah menamakan dirinya “Ahli keadilan dan keesaan” (ahlu adli wat tauhid).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri ,yang berarti juga menjauhkan diri atau menyalahi pendapat orang lain
Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I  ) muncul abad pertama Hijriah sebagai respon politik murni. Golongan ini digunakan untuk orang-orang (para sahabat) yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik yang terjadi setelah Usman bin Affan wafat, yaitu pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah,Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Al-Naubakti dalam kitabnya Firaq al-Syiah, sebagaimana dikutib oleh HAR Gibb dan J.H.Kramers, mengatakan bahwa setelah Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah, sekelompok umat Islam memisahkan diri (i’tizal) dari Ali, meskipun mereka menyetujui pengangkatan tersebut. Mereka ini disebut golongan Mu’tazilah.
Mu’tazilah dalam bentuk pertama tidak berkembang dan bukan merupakan aliran teologi Islam. Mu’tazilah yang berkembang dan menjadi salah satu aliran teologi ialah Mu’tazilah bentuk kedua, pimpinan Whasil bin Atha’.
Golongan kedua ini (selanjutnya disebut Mu’tazilah II ) muncul sebagai respon persoalan teologis  yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim.Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang- orang yang berbuat dosa besar.
Golongan Mu’tazilah berkembang dengan pesatnya sehingga mempunyai sistem atau metode dan pendapat-pendapatnya sendiri. Meskipun banyak golongan-golongan yang ditentang Mu’tazilah namun mereka sendiri sering-sering terpengaruh oleh golongan-golongan tersebut, karena pendapat dan fikiran selalu bekerja, baik terhadap lawan maupun kawan, baik menerima atau membantah bahkan sering-sering masuk kepada lawannya tanpa dikehendaki atau disengaja.
Golongan-golongan yang mempengaruhi aliran Mu’tazilah antara lain orang-orang Yahudi (misalnya dalam soal baharunya Qur’an) dan orang-orang Mesehi, seperti Saint John of Damascus (676-749) yang terkenal dengan nama Ibnu Sarjun, Tsabit bin Qurrah (836-901) murid John tersebut dan Kusto bin Lucas (820-912)

  B.         CORAK PEMIKIRAN MU’TAZILAH
Aliran Mu’tazilah dikenal sebagai golongan tradisional dalam Islam, karena di antara yang ada, dialah yang paling banyak memberi fungsi terhadap akal dalam membahas masalah keagamaan. Namun demikian, untuk mengetahui secara jelas corak pemikiran aliran Mu’tazilah, maka yang menjadi pembahasan utama dalam persoalan tersebut adalah peranan akal dalam kehidupan umat manusia, karena manusia dalam hidupnya di beri dua hal yang menjadi pedoman baginya agar tidak sesat, yaitu akal dan wahyu. Jika diperhatikan pembahasan tentang fungsi akal dan wahyu dalam kehidupan beragama di kalangan Mutakallimin, senantiasa dihubungkan dengan 4 masalah pokok, yaitu:
1.      Mengetahui Tuhan,
2.      Mengetahui kewajiban Tuhan,
3.      Mengetahui baik dan buruk,
4.      Mengetahui kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk.

Aliran Mu’tazilah dalam melihat masalah tersebut mengatakan bahwa keempat masalah di atas bisa diketahui akal. Akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan baik dan buruknya sesuatu sebelum datangnya wahyu, sehingga wajib untuk melakukan penalaran yang mapan agar dapat mengantar manusia untuk mengetahui kewajiban-kewajibannya. Karena itu, akal yang sudah sempurna merupakan sumber pengetahuan yang dapat mengetahui apa yang mendatangkan mudharat dan dosa. Akal yang sudah sempurna itu dimiliki oleh orang yang sudah mukallaf, sehingga hanya dialah yang dapat mengetahui 4 masalah tersebut di atas.
Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa semua masalah secara rinci dapat diketahui oleh akal, tetapi ada hal-hal tertentu dimana akal sangat membutuhkan penjelasan wahyu karena akal mempunyai keterbatasan, yaitu dalam perincian terhadap baik dan buruk serta kewajiban umat manusia. Al Jabbar menjelaskan bahwa akal hanya dapat mengetahui sebahagian yang baik dan buruk serta kewajiban, sehingga wahyulah yang menyempurnakan pengetahuan akal tersebut, termasuk menjelaskan cara berterima kasih kepada Tuhan, seperti shalat, zakat, dan puasa. Karena itu, ada pengetahuan baik yang diketahui oleh akal dan ada yang diketahui oleh wahyu, begitu pula dalam hal yang buruk. Fungsi lain dari wahyu dalam pandangan aliran Mu’tazilah dikemukakan oleh al Syahrastaniy yaitu mengingatkan manusia tentang kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya. Di sini dapat dipahami bahwa jika melalui akal memerlukan waktu yang lama karena harus ada pengamatan, kemudian dipikirkan lalu mengambil keputusan. Oleh Harun Nasution dikatakan bahwa fungsi wahyu terhadap akal sebagai informasi dan konfirmasi. Memberikan informasi terhadap apa yang belum diketahui oleh akal di samping mengkonfirmasikan apa yang telah diketahui akal. Aboe Bakar Atjeh menjelaskan tentang fungsi akal bagi aliran Mu’tazilah yaitu akal dapat menjangkau segala persoalan kehidupan manusia, sehingga apa yang dihasilkan oleh akal harus di terima. Jika terjadi pertentangan antara hasil akal dengan ketentuan wahyu, misalnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, maka harus di ta’wilkan agar sesuai dengan ketentuan akal. Meskipun demikian, aliran Mu’tazilah tidak meninggalkan aturan.

  C.        LIMA AJARAN DASAR TEOLOGI MU’TAZILAH
Menurut Al-Bagdady dalam kitabnya (al-Farqu bainal Firaqi) alran Mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 22 golongan, dua diantaranya dianggap sudah keluar dari Islam.[14] Meskipun terpecah-pecah, namun semuanya masih tergabung dalam al-Ushul al-Khamzah (lima ajaran dasar), yaitu:

1.      At-Tawhid (ke-Esa-an)
At-Tawhid dalam pandangan Mu’tazilah berarti meng-Esa-kan Allah dari segala sifat dan af’alnya yang menjadi pegangan bagi akidah Islam
Tauhid dari golongan Mu’tazilah adalah:
a.       Sifat-sifat Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan itu qadim brati Allah itu berbilang-bilang, sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal Maha Esa.
b.      Mereka “menafikan” meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam, pasti Allah itu berbilang.
c.       Allah bersifat ‘Alimin, Qadarin, Hayyun, Samiun, Basyirun dan sebagainya adalah dengan zat-Nya demikian, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
d.      Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
e.       Mereka menolak aliran Mujasimah, Musyabilah, Dualisme, dan Trinitas.
f.       Tuhan itu bukan benda bukan Arrad dan tidak berlaku tempat (arah) pada-Nya.

2.      Al-Adlu (keadilan)
Manusia adalah merdeka dalam segala perbuatannya dan bebas bertindak, oleh karena kebebasan itulah manusia harus mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya. Apabila perbuatan itu baik, maka Tuhan memberi kebaikan dan kalau perbuatan itu jelek atau salah jelas, siksaan dari Tuhan yang didapat. Inilah yang mereka maksud keadilan. mereka berpendapat:
a.       Tuhan menguasai kebaikan dan tidak menghendaki keburukan.
b.      Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena Qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
c.       Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.
d.      Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan menyuruh kecuali yang disuruh-Nya.
e.       Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia memiliki Qudrat dan Iradat, tetapi Qudrat dan Iradat tersebut hanya merupakan pinjaman belaka.
f.       Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan Qadrat dan Iradat.

3.      Al-Wa’du  wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya. Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak terlalu menjalankan kehidupannya.
Ajarannya ialah:
a.       Orang mukmin yang berdosa besar lalu mati sebelum bertaubat ia tidak akan mendapat ampunan dari Tuhan.
b.      Di akhirat tidak akan ada Syafaat karena syafaat berlawanan dengan al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman).
c.       Tuhan pasti akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.

4.      Al-Manzilah bainal Manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Sebagai diuraikan terdahulu bahwa dimaksud dengan tempat diantara dua tempat yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang Fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti akan ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka. Doktrin ini oleh sebagian teolog dipandang membingungkan dan tidak jelas. Sebab tidak terdapat penjelasan yang kongkrit dan riil tentang dasar yang digunakan oleh Mu’tazilah dan keadaan tempat tersebut.

5.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kejelekan)
Dasar ini pada kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan batin dan dengan dasar itu pula membuat heboh dunia Islam selama 300 tahun, pada abad permulaan Islam, sebab menurut mereka: “Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan atau diluruskan”. Kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap muslimin dan muslimat untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah berpegang kepada Al-Hadist yang artinya: “siapa diantaramu yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu”.
Oleh karena itulah telah tercatat dalam sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh ulama-ulama Islam diantaranya ulama Islam yang terkenal Syekh Buwaithi, seorang ulama pengganti Imam Syafi’i dalam suatu peristiwa “Qur’an Makhluk”.
Di sini terdapat keganjilan-keganjilan dari orang Mu’tazilah sebab amar ma’ruf atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya ma’ruf (kebaikan) bagi kaum Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan ma’ruf (kebaikan) yang sesuai dengan Qur’an.

  D.        TOKOH-TOKOH MU’TAZILAH
1.      Washil bin Atha’ al-Ghazzal (70-131 H/SM)
Washil bib Atha’ lahir sekitar tahun 70 H di Madinah. Dari Madinah beliau pindah ke Bashrah dan berguru pada hasan al-Bashri, seorang tokoh dan ulam besar. Ketika belajar dengan Hasan al-Bashri inilah ia pertama kali melontarkan pendapat yang berbeda dengan gurunya sehingga dia dan pengikutnya disebut Mu’tazilah.
Pokok-pokok pikiran teologis Washil dapat disimpulkan pada tiga hal penting:
a.       Tentang muslim yang berbuat dosa besar, Washil berpendapat, orang itu tidak mukmin, tidak pula kafir, tapi fasiq.
b.      Mengenai perbuatan manusia, Washil berpendapat, manusia memiliki kebebasan, kemampuan, dan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
c.       Tentang sifat Allah, Washil menolak paham bahwa Tuhan memiliki sifat.
2.      Abu al-Huzail al-Allaf (135-226 H atau 753-840 M)
Ia menjadi pemimpin aliran Mu’tazilah Bashrah yang merupakan generasi kedua Mu’tazilah. Tokoh inilah yang mengintrodusir dan menyusun dasar-dasar paham Mu’tazilah al-ushul al-khamsah, sehinnga aliran Mu’tazilah mengalami kepesatan. Pendapat-pendapatnya antara lain:
a.       Hakekat manusia, hakekatnya adalah badannya, bukan jiwanya (nafh dan rukh).
b.      Gerak penghuni surga dan neraka, gerak gerik mereka akan berakhir dan menjadi kesenangan dan siksaan.
c.       Qadar, manusia bisa mengadakan perbuatan-perbuatannya di dunia, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa di akhirat.
3.      Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (wafat 231 H atau 845 M)
Ia adalah murid Abul-Huzain al-Allaf. Ketika kecilnya ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari golongan Islam dan sesudah dewasa banyak berhubungan dengan filosof-filosof masanya. Beberapa pendapat-pendapatnya berlainan dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya, antara lain :
a.       Hakekat manusia, hakekatnya adalah jiwanya bukannya badannya (seperti pendapat al-Allaf).
b.      Teori sembunyi (kumun), semua makhluk dijadikan Tuhan sekaligus dalam waktu yang sama.
c.       Berita yang benar adalah yang diriwayatkan oleh imam yang ma’sum.
d.      I’jaz Qur’an (daya pelemah) terletak dalam pemberitaan hal-hal yang gaib.


4.      Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
Salah satu pedapatnya adalah, siapa yang taubat dari dosa besar kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan menerima dosa yang pertama juga, sebab taubatnya dapat diterima dengan syarat tidak mengulangi lagi.
5.      Jahiz Amr bin Bahr (wafat 255 H/808 M)
Ia terkenal taajam penanya, banyak karangannya dan banyak membaca buku-buku filsafat, terutama filsafat alam. Karangan-karangannya yang masih ada hanyalah yang bertalian dengan kasusastran.
6.      Al-Jubba’I (235-303H atau 849-915M)
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab. Ia berguru pada al-Syahham, salah seorang murid Abu Huzail al-Allaf. Suasana polotik pada zamannya tidak stabil. Gerakan-gerakan sparatis di berbagai daerah bermunculan dan dinasti-dinasti kecil lahir dimana-mana sehingga pemerintahan pusat jauh menurun. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan tetap berkembang pesat, sebab masing-masing dinasti kecil yang menguasai beberapa daerah juga tetap turut memajukan ilmu pengetahuan. Di samping itu, para ilmuwan tidak banyak terpengaruh dengan siruasi dan kondisi politik pada zaman itu.

  E.         KEMUNDURAN GOLONGAN MU’TAZILAH
Selama beberapa puluh tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan orang-orang Mu’tazilah sendiri. Mereka hendak membela dan memperjuangkan kebebasan berfikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka. Puncak tindakan mereka adalah ketika Al-Ma’mun menjadi khalifah dimana mereka bisa memaksakan pendapat dan keyakinan mereka kepada golongan-golongan lain dengan menggunakan kekuasaan Al-Ma’mun yang mengakibatkan timbulnya “peristiwa Qur’an”, yang memecah kaum muslimin menjadi dua blog, yaitu blog yang menuju kekuatan akal-fikiran dan menundukkan agama kepada ketentuannya. Yang lain adalah blog yang berpegang teguh pada bunyi nas-nas Qur’an dan Hadis semata-mata dan menganggap tiap-tiap yang baru sebagai bid’ah dan kafir.
Akan tetapi persengketaan tersebut dapat dibatasi dengan tindakan al-Mutawakkil, lawan golongan Mu’tazilah untuk mengembalikan kekuaaan golongan yang mempercayai kezaliman Qur’an. Sejak aat itu golongan Mu’tazilah mengalami tekanan berat, padahal sebelumnya menjadi pihak yang selalu menekan. Kitab-kitabnya dibakar dan kekuatannya dicerai-berai sehingga kemudian tidak lagi ada aliran Mu’tazilah sebagai suatu golongan.
Akan tetapi mundurnya golongan Mu’tazilah sebagai golongan yang teratur tidak menghalang-halangi lahirnya simpatisan dan pengikut-pengikut setia yang menyiarkan ajaran-ajarannya. Pada akhir abad ketiga Hijriyah muncullah Al-Khayyat yang dianggap sumber yang asli untuk mengetahui pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran Mu’tazilah. Pada permulaan abad keempat muncullah Abu Bakar al-Ikhsyidi dengan alirannya yang sangat berpengaruh. Ulama Mu’tazilah angkatan baru yang angat terkenal adalah Al-Kassyaf. Tafsir ini sangat berpengaruh dan lama sekali menjadi pegangan oleh ahli Sunnah, sampai lahirnya tafsir Baidlawy. Kegiatan kaum Mu’tazilah baru hilang sama sekali setelah adanya erangan-serangan oleh orang Mongolia. Meskipun demikian pikiran-pikiran dan ajaran-ajarannya yang penting masih hidup ampai sekarang pada golongan Syi’ah Zaidiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar