Reshume Artikel:
MELAWAN SEKALIGUS
MENIRU: SISWA PAPUA DI SMP KANISIUS, KALASAN, YOGYAKARTA
1.
Dalam penelitian tahun
2006 hingga 2007, SMP Kanisius, Kalasan, Sleman, Yogyakarta memiliki angka
perkelahian yang tinggi. Dari sejumlah perkelahian yang terjadi, konflik antara
siswa Papua dan non-Papua mendominasi kasus yang ada.
2.
Di sekolah tersebut
terdapat geng yang seluruh anggotanya adalah siswa Papua.
3.
Mengapa bisa begitu?
4.
Kita pelajari latar
belakang SMP Kanisius.
a.
SMP Kanisius merupakan
sebuah sekolah yang dalam 5 tahun terakhir mengalami kesulitan dalam pelayanan
operasional sekolah.
b.
Sekolah ini memiliki
kualitas pendidikan yang tidak stabil,
c.
Selain itu sekolah ini
tidak memiliki fasilitas pendukung yang menggiurkan di mata masyarakat.
5.
Salah satu yang membuat
sekolah ini tetap bertahan adalah masuknya banyak siswa yang berasal dari luar
daerah, khususnya Papua. Mereka umumnya gagal diterima di sekolah-sekolah lain
namun tetap ingin mengecap pendidikan di Yogyakarta.
6.
Banyaknya siswa Papua
yang bersekolah di SMP Kanisius Kalasan bukan tanpa masalah. Dari perkelahian
sampai pemalakan muncul menghiasi suasana sehari-hari. Mereka mengatakan sebuah
geng telah berdiri sejak sebelum mereka masuk di sekolah itu.
7.
Mengapa geng tersebut
dibuat?
8.
Geng tersebut bertujuan
melindungi siswa-siswa Papua yang bermasalah dengan siswa lain. Sebuah anjuran
yang turun temurun dilakuakan, mengenai pembelaan kepada satu orang Papua oleh
seluruh siswa Papua. Dan sebuah larangan muncul, tidak diizinkannya perkelahian
antar siswa Papua itu sendiri.
9.
Geng tersebut muncul dikarenakan:
a.
Persoalan stereotyping, merupakan sebuah cara
memandang secara negatif yang berbeda dari diri kita. Hal tersebut berfungsi
untuk mengidentifikasikan siapa kita dan siapa mereka.
b.
Prasangaka yang ada di
masyarakat
10. Apa
penyebab perkelahian?
11. Siswa-siswa
Papua mengaku bahwa mereka melakukan perkelahian kerena perasaan direndahkan
dan mereka merasa dibedakan.
Perbedaan muncul ketika
mereka menemui diri mereka berkulit hitam dan berpostur lebih besar dari yang
lain.
12. Perasaan
terancam muncul ketika siswa lain enggan berdekatan dengan mereka karena
buruknya fisik dan prestasi mereka. Sehingga membuat mereka termotivasi untuk
berkumpul, berteman dan berkomunikasi hanya dengan sesama siswa Papua.
13. Sementara,
siswa non-Papua mengatakan bahwa keengganannya untuk berteman dengan siswa
Papua bukan karena fisik dan prestasi yang berbeda namun munculnya rasa takut
bilamana kekerasan menimpanya.
Siswa non-Papua melihat
siswa Papua sebagai anak nakal dan kejam.
14. Diluar
kategori tersebut, muncul fenomena lain yang menarik yaitu:
a.
Sejumlah siswa Papua
malah berpacaran dengan siswi Jawa (Yogyakarta) . Sebagian besar siswa Papua
memiliki konsep kecantikan yang identik dengan wanita Jawa, yaitu berambut
lurus dan berkulit terang.
b.
Siswa Papua selalu
menganggap diri mereka bodoh dan parah (mengacu kepada kekerasan). Untuk itu
mereka menetap di Jawa dan enggan pulang didaerahnya karena dengan menjadi
bagian dari masyarakat Jawa, mereka merasa lebih beradab.
15. Mereka
ingin diperlakuakn sama (bukan setara) dengan orang Jawa, memiliki prestasi dan
gaya hidup yang sama. Namun janggalnya, usaha mereka untuk memperjuangkan
penghargaan tersebut justru dengan menegaskan perbedaan.
Jadi, pada satu sisi
mereka membenci namun sisi yang lain hendak meniru.
16. Mengapa
Masyarakat Papua tidak menyukai orang Jawa tapi ingin menirunya?
17. Secara
historis, adanya proyek transmigrasi di tanah Papua, mendorong masuknya
penduduk dari Pulau Jawa ke tanah Papua.
18. Di
tanah Papua, masyarakat Jawa lebih diuntungkan. Mereka cukup lihai mengolah
tanah mereka dengan sistem agraris modern yang sangat produktif. Sedangakn
sebagian masyarakat Papua tidak terbiasa dengan sistem tersebut. Akhirnya
terjadi kesenjangan ekonomi yang tajam.
19. Tidak
jarang masyarakat Papua menganggap Jawa sebagai perampok tanah leluhur mereka.
20. Namun keberhasilan masyarakat Jawa membuat
masyarakat Papua menempatkan manusia Jawa sebagai homo humanus (manusia terhormat)
21. Sehingga
muncul keyakinan menjadi orang Jawa berarti menjadi manusia yang lebih beradab.
22. Salah
satu hal yang diyakini mampu membawa diri mereka keluar dari keterbelakangan
adalah dengan bersekolah. Pendidikan di Yogyakarta di percaya mampu membuka
lebar masa depan dan mengangkat derajat anak-anak mereka.
23. Kenapa
mereka suka dengan kekerasan?
24. Bila mereka ingin tinggal di Jawa dalam waktu
lama, satu-satunya cara yang mereka yakini ampuh untuk mempertahankan
eksistensi mereka yang merasa diri dibedakan adalah dengan menggunakan
kekerasan. Mereka paham betul membuat geng merupakan bentuk pertahanan
diri. Ada sebuah kebanggaan tersendiri
ketika yang mereka anggap lebih “tinggi” (bahkan menjadi model untuk ditiru)
menjadi takut kepada mereka.
25. Di
sinilah menjadi sangat relatif antara melawan ataukah mencinta (mengidealkan).
Sumber: Y. Sanaha
Purba, “Melawan Sekaligus Meniru: Siswa Papua di SMP Kanisius, Kalasan,
Yogyakarta” dalam Budiawan (ed.), Ambivalensi, Yogyakarata: Jalasutra, 2010,
hlm. 73-79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar