Jumat, 03 Oktober 2014

Melawan Sekaligus Meniru

Reshume Artikel:
MELAWAN SEKALIGUS MENIRU: SISWA PAPUA DI SMP KANISIUS, KALASAN, YOGYAKARTA

1.      Dalam penelitian tahun 2006 hingga 2007, SMP Kanisius, Kalasan, Sleman, Yogyakarta memiliki angka perkelahian yang tinggi. Dari sejumlah perkelahian yang terjadi, konflik antara siswa Papua dan non-Papua mendominasi kasus yang ada.
2.      Di sekolah tersebut terdapat geng yang seluruh anggotanya adalah siswa Papua.
3.      Mengapa bisa begitu?
4.      Kita pelajari latar belakang SMP Kanisius.
a.       SMP Kanisius merupakan sebuah sekolah yang dalam 5 tahun terakhir mengalami kesulitan dalam pelayanan operasional sekolah.
b.      Sekolah ini memiliki kualitas pendidikan yang tidak stabil,
c.       Selain itu sekolah ini tidak memiliki fasilitas pendukung yang menggiurkan di mata masyarakat.
5.      Salah satu yang membuat sekolah ini tetap bertahan adalah masuknya banyak siswa yang berasal dari luar daerah, khususnya Papua. Mereka umumnya gagal diterima di sekolah-sekolah lain namun tetap ingin mengecap pendidikan di Yogyakarta.
6.      Banyaknya siswa Papua yang bersekolah di SMP Kanisius Kalasan bukan tanpa masalah. Dari perkelahian sampai pemalakan muncul menghiasi suasana sehari-hari. Mereka mengatakan sebuah geng telah berdiri sejak sebelum mereka masuk di sekolah itu.
7.      Mengapa geng tersebut dibuat?
8.      Geng tersebut bertujuan melindungi siswa-siswa Papua yang bermasalah dengan siswa lain. Sebuah anjuran yang turun temurun dilakuakan, mengenai pembelaan kepada satu orang Papua oleh seluruh siswa Papua. Dan sebuah larangan muncul, tidak diizinkannya perkelahian antar siswa Papua itu sendiri.
9.      Geng tersebut muncul dikarenakan:
a.       Persoalan stereotyping, merupakan sebuah cara memandang secara negatif yang berbeda dari diri kita. Hal tersebut berfungsi untuk mengidentifikasikan siapa kita dan siapa mereka.
b.      Prasangaka yang ada di masyarakat
10.  Apa penyebab perkelahian?
11.  Siswa-siswa Papua mengaku bahwa mereka melakukan perkelahian kerena perasaan direndahkan dan mereka merasa dibedakan.
Perbedaan muncul ketika mereka menemui diri mereka berkulit hitam dan berpostur lebih besar dari yang lain.
12.  Perasaan terancam muncul ketika siswa lain enggan berdekatan dengan mereka karena buruknya fisik dan prestasi mereka. Sehingga membuat mereka termotivasi untuk berkumpul, berteman dan berkomunikasi hanya dengan sesama siswa Papua.
13.  Sementara, siswa non-Papua mengatakan bahwa keengganannya untuk berteman dengan siswa Papua bukan karena fisik dan prestasi yang berbeda namun munculnya rasa takut bilamana kekerasan menimpanya.
Siswa non-Papua melihat siswa Papua sebagai anak nakal dan kejam.
14.  Diluar kategori tersebut, muncul fenomena lain yang menarik yaitu:
a.       Sejumlah siswa Papua malah berpacaran dengan siswi Jawa (Yogyakarta) . Sebagian besar siswa Papua memiliki konsep kecantikan yang identik dengan wanita Jawa, yaitu berambut lurus dan berkulit terang.
b.      Siswa Papua selalu menganggap diri mereka bodoh dan parah (mengacu kepada kekerasan). Untuk itu mereka menetap di Jawa dan enggan pulang didaerahnya karena dengan menjadi bagian dari masyarakat Jawa, mereka merasa lebih beradab.
15.  Mereka ingin diperlakuakn sama (bukan setara) dengan orang Jawa, memiliki prestasi dan gaya hidup yang sama. Namun janggalnya, usaha mereka untuk memperjuangkan penghargaan tersebut justru dengan menegaskan perbedaan.
Jadi, pada satu sisi mereka membenci namun sisi yang lain hendak meniru.
16.  Mengapa Masyarakat Papua tidak menyukai orang Jawa tapi ingin menirunya?
17.  Secara historis, adanya proyek transmigrasi di tanah Papua, mendorong masuknya penduduk dari Pulau Jawa ke tanah Papua.
18.  Di tanah Papua, masyarakat Jawa lebih diuntungkan. Mereka cukup lihai mengolah tanah mereka dengan sistem agraris modern yang sangat produktif. Sedangakn sebagian masyarakat Papua tidak terbiasa dengan sistem tersebut. Akhirnya terjadi kesenjangan ekonomi yang tajam.
19.  Tidak jarang masyarakat Papua menganggap Jawa sebagai perampok tanah leluhur mereka.
20.   Namun keberhasilan masyarakat Jawa membuat masyarakat Papua menempatkan manusia Jawa sebagai homo humanus (manusia terhormat)
21.  Sehingga muncul keyakinan menjadi orang Jawa berarti menjadi manusia yang lebih beradab.
22.  Salah satu hal yang diyakini mampu membawa diri mereka keluar dari keterbelakangan adalah dengan bersekolah. Pendidikan di Yogyakarta di percaya mampu membuka lebar masa depan dan mengangkat derajat anak-anak mereka.
23.  Kenapa mereka suka dengan kekerasan?
24.   Bila mereka ingin tinggal di Jawa dalam waktu lama, satu-satunya cara yang mereka yakini ampuh untuk mempertahankan eksistensi mereka yang merasa diri dibedakan adalah dengan menggunakan kekerasan. Mereka paham betul membuat geng merupakan bentuk pertahanan diri.  Ada sebuah kebanggaan tersendiri ketika yang mereka anggap lebih “tinggi” (bahkan menjadi model untuk ditiru) menjadi takut kepada mereka.
25.  Di sinilah menjadi sangat relatif antara melawan ataukah mencinta (mengidealkan).



Sumber: Y. Sanaha Purba, “Melawan Sekaligus Meniru: Siswa Papua di SMP Kanisius, Kalasan, Yogyakarta” dalam Budiawan (ed.), Ambivalensi, Yogyakarata: Jalasutra, 2010, hlm. 73-79.                                                                                                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar