Penulis:
Djulianto Susantio,
Arkeolog, di Jakarta
Arkeolog, di Jakarta
Naskah kuno memiliki banyak manfaat. Selain sumber informasi
berbagai jenis ilmu pengetahuan, naskah kuno merupakan kebanggaan suatu
masyarakat atau daerah.
Ironisnya,
manakala bangsa kita tidak memedulikan naskah-naskah kuno, tetangga kita
Malaysia, justru pandai memanfaatkan peluang. Sejak bertahun-tahun lalu banyak
warga Malaysia kerap berburu naskah-naskah Melayu dari beberapa wilayah
Indonesia, antara lain dari Riau, Palembang, dan Jambi hingga ke Indonesia
Timur.
Bahkan
sejak 2002 lalu banyak budayawan Malaysia masuk keluar kampung berburu naskah
Melayu. Mereka memang berambisi mendirikan Pusat Kajian Melayu terbesar di
dunia. Naskah-naskah kuno tersebut mereka beli dari keluarga kerajaan/kraton
atau warga masyarakat dengan harga tinggi.
Banyak
pihak juga menyesalkan sikap para akademisi Malaysia yang sering melecehkan
para akademisi Indonesia, misalnya terhadap hasil penelitian budayawan Tenas
Effendi. Sebagian besar kerja kerasnya bertahun-tahun ternyata sudah
“diangkuti” ke universitas terkemuka di Kuala Lumpur. Oleh mereka lalu
dibuatkan situs tersendiri. Tragisnya, ketika kita mau menggunakannya, kita
justru harus membayar kepada mereka (Kompas, 12/12/2007).
Jelas,
dalam berbagai hal kita masih kalah gesit. Bukan hanya perbatasan, naskah kuno
pun diincar Malaysia. Mari kita bersama-sama menyelamatkan aset berharga nenek
moyang kita itu.
Naskah
Kuno Banyak, Kajiannya Sedikit
Ketika masih kecil Heinrich Schliemann, seorang Jerman,
pernah diberi hadiah sebuah buku bacaan tentang kisah Perang Troya. Selama
bertahun-tahun kisah dari masa Yunani purba itu terngiang-ngiang di telinganya.
Menurut anggapannya, kisah Perang Troya bukanlah dongeng semata. Harus ada
kenyataan di balik semua itu.
Mulailah
dia mengumpulkan uang untuk membuktikan kebenaran pendapatnya. Terutama setelah
dia menjadi bankir. Dibantu sejumlah keluarga dan temannya, dia kemudian
berangkat ke Yunani, menuju tempat yang diperkirakan sebagai letak kota Troya.
Di sana,
bukit demi bukit dia gali. Akhirnya dari sebuah timbunan tanah, muncul sedikit
demi sedikit batu-batu kuno. Itulah benteng kota Troya. Schliemann menemukan
letak kota itu pada 1870-an.
Dari kisah
itu kiranya jelas bahwa naskah (manuskrip), dibantu tradisi lisan atau cerita
rakyat, sebenarnya memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Di Indonesia, peranan naskah yang demikian besar juga pernah
disadari oleh ilmuwan-ilmuwan pionir, seperti Muhammad Yamin, yang pernah
menjabat Menteri Pendidikan dan Pengajaran di era Presiden Soekarno.
Setelah membaca naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca
dari kerajaan Majapahit (abad ke-14), Yamin menyimpulkan bahwa sebelum
terbentuknya NKRI, di wilayah Nusantara pernah ada dua negara kesatuan besar,
yaitu Sriwijaya yang bercorak maritim dan Majapahit yang berciri agraris.
Pendapat Yamin masih diikuti banyak kalangan hingga kini. Apalagi banyak pakar
menganggap Nagarakretagama merupakan naskah nonfiksi terbaik sebagai sumber
sejarah (Ayatrohaedi, 1990).
Tidak
dimungkiri, karena keotentikannya dianggap bagus maka kisah sejarah berbagai
daerah juga disusun berdasarkan naskah-naskah kuno. Naskah Carita Parahyangan
merupakan sumber untuk penulisan sejarah Sunda. Babad Tanah Jawi, meskipun
mengandung mitologi, dianggap babonnya kisah sejarah Jawa. Hikayat Banjar
menjadi dasar penyusunan sejarah Banjar (Kalimantan Selatan). Sejarah Malayu
untuk sejarah daerah Melayu (mencakup Riau dan sekitarnya). Begitu pula dengan
Hikayat Aceh, Kronik Maluku, Babad Lombok, dan sebagainya yang berkenaan dengan
sejarah masing-masing daerah.
Kritik
Kini di seluruh Indonesia terdapat belasan ribu hingga
puluhan ribu naskah kuno. Namun disayangkan, kajian historiografi atas
naskah-naskah kuno tersebut masih amat sedikit. Padahal. lewat hasil kajian
filologi, naskah-naskah tersebut akan mampu merekonstruksi masa lampau
masyarakat dalam berbagai aspeknya.
Banyak
naskah dipercaya mengandung data sejarah yang akurat. Karena itulah digunakan
sebagai acuan oleh para filolog dan arkeolog. Filologi dan arkeologi memang
mempunyai jenis data utama yang berbeda, namun keduanya sering kali bertemu
dalam suatu kepentingan.
Filologi
umumnya memelajari teks atau sumber tertulis. Sementara arkeologi meneliti
artefak atau sumber tak tertulis. Namun karena suatu teks selalu dituliskan
pada benda tertentu, maka terjadilah pertemuan keduanya. Hal ini terlihat nyata
pada epigrafi, yakni ilmu yang memelajari prasasti.
Naskah
sebagai artefak kemudian mendapatkan perhatian serius. Hal ini diwujudkan dengan
mengemukanya bidang perhatian khusus dalam ilmu pernaskahan yang disebut
Kodikologi. Demikian pula variasi-variasi kecil dalam bentuk huruf diberi
perhatian khusus dalam penggarapan naskah-naskah, untuk dilihat kemungkinannya
bahwa variasi-variasi itu adalah fungsi dan perbedaan tradisi wilayah, masa,
atau penguasa (Edi Sedyawati, 2006).
Dalam
beberapa kasus, filologi memang amat berhubungan erat dengan arkeologi dan
sejarah. Teks-teks kuno, terutama yang telah melalui garapan para ahli
filologi, dapat membantu para peneliti arkeologi yang memelajari benda-benda
budaya tinggalan dari masa yang sama atau berdekatan dengan teks-teks itu.
Pemanfaatan
terbesar adalah dalam rangka identifikasi rangkaian relief cerita yang terdapat
di candi-candi. Banyak teks Jawa Kuno yang telah dijadikan sandaran untuk upaya
identifikasi tersebut.
Teks-teks
sastra kuno pada dasarnya memberikan sumbangan berarti bagi pengetahuan
ikonografi (seni arca kuno) berkenaan dengan penggambaran visual para tokoh.
Sebaliknya, pengetahuan arkeologi khususnya ikonografi, dapat pula memberikan
sumbangan pada ilmu pernaskahan. Terlebih dalam memberikan terjemahan yang
tepat pada kata-kata yang sebenarnya merupakan semacam istilah teknis dalam
konteks ikonografi.
Rekonstruksi
Sejumlah teks mampu memberikan gambaran mengenai peri
kehidupan di zaman teks tersebut ditulis. Data semacam itu amat berguna untuk
memberikan gambaran rekonstruksi yang lebih lengkap apabila dipadukan dengan
temuan-temuan kepurbakalaan sezaman (Sedyawati, 2006).
Di
Indonesia tradisi pernaskahan pernah hidup dalam berbagai suku bangsa.
Masing-masing memiliki sistem aksara yang khas, termasuk media penulisannya.
Dari ribuan naskah kuno yang sudah sampai ke tangan kita, masing-masing
memiliki keunikan, yakni setiap daerah memiliki materi yang berlainan untuk
menulis naskah.
Naskah-naskah
dari Jawa umumnya ditulis di atas daun tal (lontar). Naskah Batak ditulis di
atas kulit kayu yang kemudian diberi tali pengikat dan ditutup dengan kayu
berukir. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah kertas (daluwang), bambu,
tulang binatang, kulit binatang, labu hutan, rotan, dan daun nipah.
Karena
kurang perhatian masyarakat dan pemerintah, naskah (kuno) telah menjadi sumber
sejarah yang terabaikan. Untuk itu kita semua harus menyelamatkan seluruh
khasanah pernaskahan dari kepunahan atau kerusakan. Saolnya, kemungkinan besar
isinya masih mempunyai relevansi dengan masa kini.
sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar